Parapat, NINNA.ID-Jika kamu berkunjung ke Kota Parapat, tak perlu jauh-jauh menyusuri desa untuk melihat proses produksi kacang Sihobuk.
Cukup datang ke sekitar Terminal Parapat, di jantung kota.
Di sana, pemandangan tumpukan kacang yang dijemur di bawah terik matahari sudah menjadi bagian dari keseharian.
Beberapa langkah dari situ, kamu akan menemukan rumah produksi dengan merek yang sudah akrab di telinga para wisatawan: Kacang Sihobuk Niko.
Namun di balik aroma kacang panggang yang gurih dan renyah itu, tersimpan lebih dari sekadar camilan lezat—ada kisah perjuangan panjang, kerja keras, dan cinta keluarga yang tak pernah padam.

Berawal dari Perantauan
Usaha ini bermula dari pengalaman merantau di Kuala Lumpur.
Ernawati Siahaan, sang pemilik, memulai semuanya dengan berdagang kecil-kecilan—dari mie goreng hingga jajanan pagi.
Seiring waktu, kacang menjadi produk andalannya.
Ketika kembali ke tanah air, Ernawati membawa pulang semangat wirausaha itu ke Parapat.
Awalnya, ia menjalankan usaha ini seorang diri: membeli kacang basah, menjemur, memanggang, hingga menjualnya sendiri.
Sedikit demi sedikit, usahanya bertumbuh. Kini, rumah produksi Kacang Niko menjadi salah satu yang paling aktif di Kawasan Parapat.
Saat musim liburan atau Lebaran tiba, produksi bisa meningkat tajam—hingga ratusan bungkus kacang harus siap dalam waktu singkat.

Proses Panjang, Kualitas Tak Berubah
Dalam setiap butir kacang Kacang Niko, ada proses panjang yang tak pernah diabaikan.
Bahan baku dipilih dari berbagai daerah sekitar Danau Toba: Pangururan, Siantar, hingga Siborong-borong.
Kacang basah dijemur selama empat hari penuh di bawah matahari.
Proses ini penting untuk memastikan kacang benar-benar kering sebelum dipanggang.
Setelah kering, kacang disortir manual—memisahkan yang utuh dari yang rusak.
Kacang pilihan lalu direndam kembali selama dua hari dua malam, dijemur ulang, baru dipanggang menggunakan pasir selama sekitar dua jam.
Teknik tradisional ini menghasilkan kacang dengan rasa gurih alami dan kerenyahan khas.
Setelah dipanggang, kacang dimasukkan ke dalam goni dan dibungkus selimut semalaman.
Teknik ini menjaga kekeringan sekaligus memperkaya aroma yang menggoda saat kemasan dibuka keesokan harinya.
Menjaga Rasa di Tengah Badai
Waktu terus berlalu, usaha Kacang Niko bertumbuh. Mempertahankan tradisi rasa di tengah badai persaingan dan tantangan bahan baku menjadi hal penting untuk dijaga.
Dulu, Kacang Niko nyaris tanpa pesaing. Bahan baku pun melimpah. Tapi segalanya berubah ketika pandemi COVID-19 melanda.
“Bahan baku hilang hampir dua tahun,” katanya. “Baru dua bulan belakangan ini mulai ada lagi kacang.” Ungkap Ernawati Siahaan saat NINNA mampir menelusuri kisah Kacang Niko ke rumah produksinya pada Sabtu 26 April 2025.
Bahkan untuk mempertahankan sewa tempat, mereka harus berhitung cermat.
“Sewanya lima juta setahun. Bayarnya harus enam tahun di depan,” ujarnya, bersyukur masa sewa mereka masih panjang.
Di tengah masa-masa sulit, dukungan dari Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI datang menjadi napas baru.
Pertama kali mengajukan pinjaman lima tahun lalu, atas nama sang suami, Mariono, mereka mulai dengan nominal Rp50 juta. Kini, pinjaman bertambah menjadi Rp150 juta, tetap dalam tenor lima tahun.
“Memang tidak terlalu santai juga bayarnya, tapi ya, stabil lah. Nggak sampai ngos-ngosan,” Ernawati tersenyum.
Semua pekerjaan dilakukan keluarga sendiri—mulai dari menggoreng, membungkus, hingga mendistribusikan.
Bertahan dengan Cinta dan Kualitas
Di Parapat, nama Kacang Niko sudah menjadi jaminan mutu.
Pelanggan setia mereka, yang sudah jatuh cinta pada rasa kacang Niko, sulit berpaling ke lain hati.
“Pelanggan kami itu, kalau sudah sekali jatuh cinta, susah pindah ke yang lain,” katanya bangga.
Meski banyak pesaing baru bermunculan, bahkan dengan kemasan vakum modern, Kacang Niko tetap setia pada cara tradisional.
“Pelanggan kami mau yang segar, yang baru digoreng. Bukan yang disimpan berbulan-bulan,” tegasnya.
Omzet Kacang Niko fluktuatif, mengikuti irama pariwisata Parapat. Namun dalam minggu-minggu ramai, mereka bisa menjual hingga enam ratus bungkus kacang—semuanya tanpa promosi besar-besaran, hanya mengandalkan kekuatan mulut ke mulut.
Saat bahan baku langka, mereka rela pergi jauh hingga ke Muara, bahkan bermalam di jalan, demi mendapatkan kacang mentah terbaik.
Kini, mereka lebih memilih mempertahankan kualitas daripada mengejar kuantitas.
“Kalau banyak jenis produk, nanti kita kewalahan. Tenaga kerja kita kan keluarga semua,” ujarnya bijak.
Keluarga, Pondasi yang Kuat
Di balik kokohnya usaha ini, ada kekompakan keluarga yang luar biasa.
Salah satu dari total 5 pekerja di Usaha Kacang Niko yakni Mak Kristian Sidabutar, sudah hampir sebulan membantu produksi kacang di rumah Ernawati.
Ia mengaku sangat bersyukur, karena pendapatannya dari Kacang Niko turut membantu ekonomi keluarganya.
“Saya sangat bersyukur bisa bekerja di sini. Pendapatan dari Kacang Niko sangat membantu ekonomi keluarga kami,” ujar Mak Kristian Sidabutar yang sudah tiga minggu membantu produksi kacang di rumah Ernawati.
Adik kandung Ernawati, Retni Siahaan, juga memilih meninggalkan usaha mie-nya demi membantu penuh di rumah produksi Kacang Niko.

Baginya, menjaga dan membesarkan usaha keluarga ini jauh lebih bermakna.
Di tengah kota kecil yang kadang gaduh oleh pariwisata musiman, Kacang Niko tetap berdiri.
Tidak hanya sebagai penjual kacang, tapi sebagai penjaga rasa, semangat, dan ketekunan.
Dukungan KUR BRI menjadi bagian penting dalam perjalanan mereka.
Tanpa tambahan modal itu, mungkin cerita ini tak akan sampai sejauh ini.
“Kalau Tuhan mau, kita masih bisa bertahan,” tutup Ernawati, suaranya pelan namun penuh keyakinan.
Di setiap butir kacang Kacang Niko, ada kerja keras, ada cinta, dan ada harapan yang selalu hidup.
Jika pembaca tertarik untuk melihat rumah produksi atau memesan Kacang Niko, Anda dapat memesannya di no HP Ernawati Siahaan di 0813-7536-0610
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga