NINNA.ID – Hari Minggu (23 Januari 2023), saya pergi ke Samosir. Samosir cepat berkembang. Pembangunan di mana-mana. Dana BUMN dan APBN mengalir deras. Termasuk untuk Waterfront di Pangururan dan Plaza Tarombo di Menara Pandang Tele dan Jembatan Tano Ponggol. Pasti akan terjadi perubahan pesat.
Namun, ada yang perlu dikhawatirkan. Di balik kemajuan pesat, ada yang ditinggalkan. Salah satunya budaya. Yang juga penting bahan perhatian: masyarakat setempat.
Maksudnya, orang Batak itu sendiri. Karena itu, perlu edukasi dari pemerintah. Kepada semua masyarakat.
Tujuannya agar tak menjual tanah pada orang luar. Cukup disewakan saja. Sebab, pola ketergusuran bangsa selalu di mulai dari alih milik lahan. Dari penduduk setempat pada pendatang. Di Samosir, sudah banyak pendatang. Iseng-iseng saya singgah. Lalu, bertanya-tanya.
Saya terkejut. Tanah itu sudah milik mereka. Tanah itu dibeli. Dari penduduk setempat tentu saja. Ia mengaku, banyak orang seperti dia. Datang dari jauh. Lalu, membuat keputusan: tinggal menetap. Jadi, tidak lagi singgah, apalagi ngontrak. Jika skema ini terus, kita khawatir.
Apalagi, para pendatang merasa nyaman. Malah betah. Mereka menganggap: ini kampung kami. Sesuatu yang harus disyukuri. Namun, patut juga diantisipasi. Karena itu, perlu edukasi. Bahkan, bila perlu, perda. Perda supaya tak ada jual beli lahan dalam jumlah tertentu.
Mungkin ini terlalu fobia. Terlalu curiga. Namun, begitulah kenyataannya. Bagaimana pun, Tanah Batak harus tetap tanah milik Batak. Batak harus jadi tuan di tanahnya. Saya tak bisa membayangkan. Di sekitar bangunan megah, orang Batak mulai tergusur.
Tergusur karena menjual tanahnya. Jadi, tidak ada gunanya pembangunan. Jika akhirnya penduduk setempat tergusur.
Di Jembatan Tano Ponggol, saya menyaksikan kemegahan. Orang-orang datang. Semuanya berbahasa Indonesia. Saya malas bertanya dari mana mereka.
Saya hanya membuat kesimpulan kasar. Pertama, mereka bukan orang Batak. Jika orang Batak, pasti perantau.
Kedua, mereka orang Batak. Batak dari Pangururan atau Samosir. Kalau kedua kesimpulan kasar ini benar, kita harus mulai waswas. Nilai-nilai Batak mulai tergusur.
Tergusur bahkan dari kaki bukit dekat Pusuk Buhit. Padahal, semua pembangunan ini harusnya untuk Batak. Mereka harus jadi tuan. Sama seperti di Monaco. Apalagi awalnya, Danau Toba diimpikan jadi seperti Monaco. Monaco of Asia. Monaco itu istimewa.
Mereka hidup dominan dari pariwisata. Menariknya, orang Monaco benar-benar jadi tuan. Para pekerja banyak dari luar. Mereka hanya ngontrak. Atau menumpang. Hak milik tetap punya mereka. Danau Toba juga harus seperti itu. Sekarang tergantung komitmen daerah.
Bagaimana kucuran dana pembangunan: untuk penduduk atau pendatang? Komitmen Luhut dan kemauan Jokowi tentu untuk membangun Tanah Batak. Komitmen daerahlah untuk mengedukasi rakyat. Kita tunggu komitmen dan edukasi dari daerah untuk eksistensi Batak.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor  : Mahadi Sitanggang