HUMBAHAS – Benar, dalam adat Batak, ada tiga jenis jambar: jambar hata, jambar sihumisik, dan jambar juhut. Namun, pada kesempatan ini, kita akan fokus membahas jambar juhut.
Menarik tentu membahas jambar juhut ini. Mengapa, misalnya, yang dibagi secara anatomis bukannya ikan atau binatang berkaki dua? Mengapa harus yang berkaki empat?
Oh, iya, saya harus menyampaikan disklaimer di awal: ini hanya dugaan. Ini bukan kebenaran. Dan, saya pikir, ini juga bukan kesalahan. Karena itu, bagi pembaca, silakan memberikan sumber untuk menambah wawasan dan argumentasi kita tentang jambar juhut. Kita bisa berdebat panjang tentang ini. Tentu tujuan kita berdebat bukan mencari siapa yang salah. Tujuan debat tidak sekonyol itu, bukan?
Nah, mari langsung ke pokok persoalan: apakah jambar juhut merupakan bukti kecil bahwa leluhur Batak pada masa nomaden adalah hobi berburu? Menurut saya, ya.
Untuk mendeteksinya, mari berbicara tentang sejarah manusia. Rasanya, kita sudah sepakat bahwa sejarah manusia diawali dengan sejarah nomaden. Sejarah nomaden dekat dengan sejarah berburu. Dalam lajur berfikir demikian, besar kemungkinan leluhur Batak juga berburu di awalnya, bukan?
Saya jadi teringat pada satu senjata yang konon paling awal ditemukan oleh leluhur Batak, yaitu Hujur Siringis. Apa itu Hujur Siringis? Ia semacam tombak.
Secara teknis, tombak tentu lebih efektif digunakan untuk dilempar daripada dipakai begitu saja. Pertanyaannya: mengapa dilempar? Ada banyak kemungkinan.
Kemungkinan pertama, pelempar kalah kekuatan dengan objek yang dilempar. Kemungkinan kedua, pelempar kalah kecepatan dengan objek yang dilempar.
Secara biologis, kita memang harus jujur bahwa manusia kalah tenaga daripada hewan. Karena itu, manusia tak akan pernah bertarung melawan hewan dengan mengandalkan otot. Manusia tidak senekat itu. Mereka akan mencari jalan dengan menjaga jarak.
Secara biologis, manusia pun kalah kecepatan dari hewan. Karena itu, pilihan aman adalah menggunakan tombak. Tombak lebih efektif daripada pedang untuk bertarung secara jarak jauh bukan?
Nah, konon, seperti juga disebutkan di atas, senjata awal leluhur Batak adalah Hujur Siringis. Berarti, meski terkesan cocokologi, adalah masuk akal untuk menyebut bahwa leluhur Batak juga hidup dengan berburu bukan?
Tentu arti berburu di sini adalah tidak semata menggunakan otot. Sebab, seperti tadi, manusia pada dasarnya sudah kalah secara fisik dengan hewan. Manusia adalah makhluk paling lemah secara fisik di dunia ini. Itu fakta.
Baiklah, baiklah, baiklah, saya kira kita sudah sepakat bahwa leluhur kita adalah pemburu di zamannya. Sekarang, masuk kita ke poin ini: mengapa hewan yang dijadikan sebagai jambar juhut untuk dibagi secara anatomis adalah hewan berkaki empat, bukan hewan berkaki dua, dan bukan pula ikan, seperti Ihan Batak, padahal Ihan Batak cukup legendaris? Jawaban logisnya sederhana: hewan berkaki dua terlalu kecil untuk dibagi-bagi.
Lagipula, rasanya tak perlu banyak orang untuk melumpuhkan seekor ayam dan seekor ikan, bukan? Jadi, karena tak membutuhkan banyak orang, maka adalah wajar juga untuk tidak membagi-baginya.
Menjadi beda, misalnya, jika yang ditemukan adalah binatang berkaki empat. Perlu banyak orang untuk melumpuhkannya. Karena itu, jika sudah didapatkan, wajar jika hewan hasil buruan itu pun harus dibagi-bagi.
Mengapa harus dibagi-bagi? Pertama tadi, ada banyak orang yang ikut berperan untuk melumpuhkan hewan buruan tersebut. Kedua, hewan buruan harus segera dibagi supaya lebih ringan untuk membawanya kembali ke permukiman.
Bayangkan jika hasil buruan itu harus dibawa utuh dari pedalaman hutan hingga jantung kampung? Memberatkan sekali bukan?
Nah, dalam imajinasi saya, sebelum berburu, leluhur kita sudah berbagi peran. Pemilik lahan mungkin cukup dari belakang agar mereka aman di daerah mereka sendiri. Atau, mereka cukup mengusir saja dari belakang karena mereka lebih tahu lokasi tempat perburuan ke mana diarahkan. Pemilik lahan berarti pemilik hajatan. Transformasinya sekarang berarti suhut.
Sementara itu, dari bagian depan, dipastikan adalah ahli strategi yang terkuat. Istilahnya, pemimpinnya. Istilah lainnya raja-raja. Transformasinya sekarang mungkin: hula-hula.
Nah, setelah hewan itu didapatkan, mereka pun membedahnya secara anatomis. Semua dapat bagian sesuai peran masing-masing.
Dalam lajur berpikir demikianlah saya menduga mengapa ayam tak perlu dibedah secara anatomis. Jadi, jauh sebelum ini, leluhur kita sebenarnya sudah terampil untuk berbagi. Mereka sudah tahu mana yang harus dibagi dan dinikmati bersama.
Jika sekarang generasi kita tak tahu membedakan mana yang harus dibagi bersama, mana yang tidak, saya curiga bahwa nenek moyang mereka justru hidup dengan norma sebelum zaman berburu tiba bukan?
Saya menegaskan itu karena pernah terdengar dengan telinga saya sendiri, kampung yang dulu dirintis bersama oleh leluhurnya malah dibagi-bagi menjadi hak kapital oleh individual. Perkampungan yang komunal dibuat menjadi tanah kapling yang individual. Ini sudah jauh dari semangat tahu mana yang harus milik bersama, mana kepentingan pribadi bukan? Tetapi, ya, begitulah kehidupan manusia.
Manusia cukup lemah. Lemah karena memang ia lahir bahkan sebelum ia siap untuk hidup. Beda dengan hewan, mereka lahir setelah siap untuk hidup. Lihatlah ayam. Begitu pecah dari cangkang, ia bisa mencari makan. Anjing, begitu keluar dari rahim induknya, langsung berjalan.
Manusia? Ia butuh minimal setahun hanya untuk bisa berjalan. Ia butuh minimal 6 tahun untuk bisa makan sendiri. Ia butuh sampai napas terakhir untuk tahu bahwa ia telah bersalah atau tidak. Karena itu, ia bertobat di detik terakhir. Bahkan, kadang tak sempat. Kasihan sekali memang menjadi seorang manusia.
Oh, iya, soal anatomi hewan ini, saya terinspirasi pada pembicaraan teramat lawas dengan Thompson Hs. Saking awetnya pembicaraan kala itu, bahkan napas terakhirku kelak tak cukup untuk melupakannya.
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor     : Mahadi Sitanggang