NINNA.ID – Istilah de-influencing tengah trending di media sosial TikTok. Kira-kira apa artinya yah? Berikut ini penjelasannya.
TikTok adalah media sosial yang saat ini populer terutama bagi masyarakat Indonesia. Melalui TikTok, kita bisa melihat berbagai konten video menarik, informatif, mendidik, bahkan konten gosip.
Anda tentu sering melihat konten para influencer yang membagikan berbagai barang yang mereka gunakan dan ingin Anda untuk segera membeli barang tersebut.
Para influencer ini seolah-olah sedang menciptakan rasa urgensi yang membuat Anda melakukan atau membeli apapun yang mereka rekomendasikan.
Tren de-influencing di TikTok adalah kebalikan dari tren influencing atau tren mempengaruhi. Ini adalah gerakan kreator yang akan memberi tahu followers mereka apa yang tidak boleh dibeli dan alasannya.
Idenya adalah membantu Anda menghemat waktu dan uang dengan tidak membeli barang yang tidak Anda butuhkan dan mencegah Anda meniru gaya hidup yang tampak tidak realistis.
Beberapa kreator yakin bahwa komunitas influencer TikTok ini mempromosikan barang secara berlebihan. Selain itu, ada beberapa influencer yang menyesatkan followers atau audiens mereka dengan memposting ulasan tidak jujur untuk postingan bersponsor.
Setiap video di TikTok atau media sosial lain memang sekarang terasa lumrah jika konten tersebut adalah konten bersponsor atau disusupi link affiliate agar bisa viral di TikTok.
Hal itulah tren de-influencing ini menjadi angin segar bagi pengguna TikTok yang sudah jenuh dengan berbagai postingan berisi iklan.
Di masa lalu, TikTok memang tampak berbeda dari platform media sosial lainnya seperti Instagram. Hal ini karena kreatornya memposting konten organik yang disukai pemirsa.
Akan tetapi, seiring dengan menjamurnya TikTok, banyak kreator dari Instagram yang pindah ke TikTok dan membawa serta budaya konsumerisme mereka yang sebetulnya dihindari pengguna.
Itu tadi penjelasan mengenai tren de-influencing yang saat ini sedang trending di TikTok. Apakah Anda lebih tertarik dengan tren ini atau justru lebih menyukai konten TikTok bersponsor?
Dilansir dari Dazed, Kamis (23/2/2023), deinfluencing adalah kegiatan di mana influencer di Tiktok yang memberi tahu pengikut mereka apa yang tidak boleh dibeli. Biasanya, para influencer ini menguatkan argumentasinya dengan alasan konsumsi berlebihan dan menghemat uang. Tren yang sedang berkembang ini, sebagian besar berakar pada komunitas kecantikan dan gaya hidup.
Dua komunitas itu memiliki video di mana produk-produk populer diberi label berlebihan. Jika pemasaran influencer menggunakan dukungan pribadi untuk menjual produk, pada prinsipnya, deinfluencing harus mendorong konsumen untuk berpikir kritis tentang pembelian mereka dan mengevaluasi kebutuhan mereka.
Contohnya, seorang pengguna, dalam video dengan lebih dari 56 ribu likes, berkata bahwa dia hadir untuk menghilangkan pengaruh pengikutnya. “Jangan ambil Ugg Minis. Jangan dapatkan Dyson Airwrap. Jangan Charlotte Tilbury Wand. Jangan dapatkan Stanley Cup. Jangan dapatkan buku-buku Colleen Hoover. Jangan beli AirPods Pro Max,” ujar seorang pengguna tersebut.
Video deinfluencing ini mulai muncul di awal tahun, sebagai upaya tulus untuk menyatukan titik-titik di antara siklus tren, praktik kerja yang tidak etis, dan pemborosan yang berlebihan.
Pembuat konten keberlanjutan Shelbi Orme mengatakan, kita semua telah mempelajari dampak dari industri mode cepat.
“Kami tahu tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam industri mode cepat. Tapi, sejujurnya ‘make-up cepat’ juga sangat bermasalah,” ujar Orme dalam videonya yang saat ini telah dilihat 100 juta kali di Tiktok.
Ome benar, tetapi bukan hanya sektor mode dan kecantikan yang menikmati produksi yang tidak etis. Hampir semua industri global melakukannya.
Namun, seperti yang sering terjadi secara daring, apa yang dimulai sebagai intervensi jujur, kemudian dikooptasi oleh influencer untuk menjual lebih banyak produk.
Video ‘deinfluencing’ kemudian bermetamorfosis menjadi format video viral, yakni influencer menyusun produk yang tidak mereka sukai dan mengarahkan pengikut ke produk lain yang mereka setujui. Intinya, sebagian besar deinfluencer di aplikasi sebenarnya adalah influencer yang berpura-pura.
Untuk sebagian besar, deinfluencing tampaknya menjadi taktik pemasaran ‘sadar sosial’ terbaru. Konsep ini, secara bebas didasarkan pada keberlanjutan dan kesulitan keuangan yang mungkin dialami konsumen selama penurunan ekonomi global.
Di seluruh dunia, orang-orang saat ini tengah mengencangkan dompet mereka untuk bertahan dari kenaikan sewa, tagihan utilitas, dan tingkat inflasi.
Pada saat yang sama, kejenuhan dan persaingan yang meningkat di pasar yang berpengaruh berarti pekerjaan itu tidak semudah dulu.