Parapat, NINNA.ID-Parapat, sebuah kota wisata yang indah di tepi Danau Toba, kembali diterjang banjir bandang pada Minggu, 16 Maret 2025. Hujan deras yang mengguyur sejak pagi menyebabkan Sungai Batu Gaga meluap, membawa serta batu dan lumpur yang menghantam permukiman warga.
Dalam hitungan menit, air bah menerjang rumah-rumah, melumpuhkan jalan utama, dan mengubah wajah kota yang biasanya ramai oleh wisatawan menjadi pemandangan yang pilu.
Di sebuah rumah sederhana yang kini dipenuhi lumpur, seorang ibu lanjut usia duduk dengan wajah lelah.
“Setiap kali hujan deras, kami selalu waspada. Suara gemuruh air seperti mimpi buruk yang terus menghantui kami,” ujarnya lirih.
Harapan besar ia letakkan pada pemerintah untuk bertindak tegas terhadap perusakan hutan yang dianggap sebagai penyebab utama bencana ini.
Laporan dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) mencatat, sebanyak 11 rumah mengalami kerusakan parah dan 138 kepala keluarga terdampak langsung.
Bahkan, lumpur dan bebatuan yang terbawa arus juga merendam fasilitas umum seperti rumah sakit dan beberapa hotel, termasuk Hotel Atsari. Jalur utama yang menghubungkan Parapat dengan Medan dan Balige pun lumpuh akibat longsor.
Tiga hari setelah bencana, kondisi kota masih jauh dari pulih. Banyak rumah makan dan toko wisata belum bisa beroperasi, sementara warga bergotong royong membersihkan sisa lumpur yang menggunung.
Ngatiman, seorang pemilik usaha di kawasan Panatapan, hanya bisa pasrah. “Wisatawan takut singgah. Biasanya, setelah kejadian seperti ini, usaha kami sepi berbulan-bulan,” keluhnya.
Jejak Deforestasi di Hulu Sungai
Di media sosial, perdebatan mengenai penyebab banjir semakin memanas. Sebagian orang menyalahkan curah hujan yang tinggi, namun banyak pula yang menuding kerusakan hutan di hulu Sungai Batu Gaga sebagai pemicu utama.
Penelitian yang dilakukan oleh KSPPM, AMAN, dan Auriga Nusantara menunjukkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, kawasan hutan alam di sekitar DAS Bolon telah menyusut dari 10.348 hektar menjadi hanya 3.614 hektar.
Pdt. Dr. Tinambunan, Ephorus HKBP, dalam konferensi pers pada 17 Maret 2025 menegaskan, “Banjir Parapat bukan ujian dari Tuhan, ini adalah akibat ulah manusia yang merusak alam ciptaan-Nya.”
Pernyataan tersebut didukung oleh hasil investigasi yang dilakukan oleh KSPPM, AMAN, dan Auriga Nusantara.
Dari Hutan Alam ke Kebun Eukaliptus
Berdasarkan analisis spasial dan penelitian di lapangan, ditemukan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah terjadi pembukaan hutan yang signifikan di 5 kecamatan sekitar Parapat, yaitu Girsang Sipangan Bolon, Dolok Panribuan, Pematang Sidamanik, Hatoguan, dan Jorlang Hataran.
Lima kecamatan merupakan landskap satu daerah aliran Sungai Bolon Simalungun (Sumber: BP DAS).

Pada tahun 2000, luas hutan alam di wilayah tersebut mencapai 10.348 hektar. Namun, angka ini terus menyusut hingga tersisa hanya 3.614 hektar pada tahun 2023. Periode dengan kehilangan hutan terbesar terjadi pada tahun 2005-2010, di mana 2.779 hektar hutan hilang. Sementara itu, dalam periode 2010-2025, kembali terjadi pengurangan tutupan hutan sebesar 2.366 hektar.
Jika diakumulasi, dari tahun 2000 hingga 2022, kawasan ini telah kehilangan hutan alam seluas 6.148 hektar. Perubahan ini sangat berpengaruh terhadap daya tampung air hujan dan stabilitas tanah, yang akhirnya berkontribusi terhadap bencana banjir dan longsor.
Pada periode yang sama terjadi peningkatan kebun kayu eukaliptus seluas 6.503 hektar. Analisis ini membuktikan bahwa perubahan tutupan hutan di wilayah 5 kecamatan ini terjadi dan sebagian besarnya berubah menjadi eukaliptus.
PT Toba Pulp Lestari (TPL) diketahui memiliki wilayah konsesi seluas 20.360 hektar di sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun. Berdasarkan analisis perubahan tutupan hutan alam yang dilakukan oleh tim, terjadi deforestasi signifikan dalam kawasan konsesi ini selama periode 2000 hingga 2023.
Pada tahun 20000, luas hutan alam di wilayah tersebut masih mencapai 10.348 hektar. Namun, angka ini terus menyusut hingga hanya tersisa 3.614 hektar pada tahun 2023. Total kehilangan tutupan hutan dalam kurun waktu tersebut mencapai 6.734 hektar.
Periode deforestasi terbesar terjadi antara tahun 2005-2010 dengan kehilangan hutan seluas 2.779 hektar, disusul periode 2010-2023 yang mengalami penyusutan lebih lanjut sebesar 2.336 hektar.
Data ini menunjukkan bahwa laju kehilangan hutan di sektor Aek Nauli sangat massif dan mengkhawatirkan.
Selain kehilangan 6.148 hektar hutan alam, kawasan ini juga mengalami peningkatan drastis dalam luas kebun kayu eukaliptus hingga 6.503 hektar.
Perubahan fungsi lahan inimempengaruhi daya tampung air hujan dan memperburuk risiko bencana.
Di sisi lain, PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang memiliki konsesi di sektor Aek Nauli, disebut-sebut berperan dalam deforestasi besar-besaran di kawasan tersebut.
Banjir bandang ini bukan pertama kali terjadi di Parapat, dan mungkin bukan yang terakhir jika tidak ada tindakan nyata dari pemerintah.
Evaluasi tata ruang dan penghentian pembukaan hutan alam menjadi langkah mendesak yang harus diambil untuk mencegah tragedi serupa terulang.
“Kami hanya ingin hidup tenang, tanpa rasa takut setiap kali hujan turun,” ujar seorang warga dengan nada penuh harap.
Saatnya bagi pihak berwenang untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak, demi masa depan Parapat yang lebih aman.
PR KSSPM
Editor: Damayanti Sinaga