HUMBAHAS – Setiap generasi tentunya memiliki ciri khas tersendiri yang membuatnya unik dari generasi lainnya. Sebagai contoh, generasi milenial yang lahir di tahun 90-an seperti saya, identik dengan tren musik tradisional Batak dipadukan dengan musik pop. Hasil perpaduan tersebut melahirkan warna baru dalam khasanah budaya Batak. Boleh dikatakan, pop Batak atau Batak Kekinian.
Selain musik, busana dan bahasa juga mengalami perpaduan, busana berbahan ulos dan jargon-jargon baru seperti homestay yang dalam bahasa Batak disebut sopo paradian dan spearfishing dulunya disebut marpalait adalah mencari ikan dengan cara menombak.
Salah satu seni yang terlihat kurang populer saat ini adalah seni memahat batu atau disebut manguhir. Padahal di generasi-generasi sebelumnya, bisa dikatakan sebagai generasi panguhir yang handal, terlihat dari begitu banyak karya-karya luar biasa mereka yang hari ini masih bisa kita saksikan.
Contohnya saja di Desa Tipang, setidaknya ada empat sarkofagus yang masih berdiri kokoh, yaitu:
- Sarkofagus Domiraja Nababan,
- Sarkofagus Raja Ijulu Manalu,
- Sarkofagus Ompu Somba Debataraja, dan
- Sarkofagus Tuan Dihorbo Purba.
Sarkofagus, sebagaimana masyarakat setempat menyebutnya “Batu Siungkapungkapon atau Batu yang dibuka.” Salah satu yang paling sering dikunjungi adalah Batu Siungkapungkapon Ompu Somba dari marga Debata Raja.
Disebut Batu Siungkapungkapon karena penutup batu tersebut harus diungkap (dibuka) ketika pemiliknya hendak melakukan suatu aktivitas yang berkaitan dengan batu tersebut.
Bentuk Batu Siungkapungkapon tidak jauh berbeda dari bebatuan atau sarkofagus lainnya di tanah Batak. Selalu disertai dengan penutup, memiliki wajah, memiliki kepala, dan memiliki permaisuri atau pengikut.
Masing-masing bagian memiliki maknanya tersendiri. Ada yang berfungsi sebagai kepala, badan, dan penopang. Secara keseluruhan, sarkofagus berfungsi sebagai media perantara antara leluhur dan tokoh spritual dalam ritual yang digelar untuk mengawali pertanian.
Ada juga yang berfungsi sebagai wadah penyimpanan tulang belulang beserta benda-benda berharga milik orang tertentu yang dituakan. Karena bagi orang Batak, tulang belulang dan peninggalan orang tua adalah harga diri yang bernilai tinggi.
Sebagaimana sarkofagus Ompu Somba, sebagai media penyimpanan tulang belulang dan perkakas pribadi Ompu Somba itu sendiri, yang hingga saat ini masih dijaga oleh keturunannya yang tinggal di Desa Tipang.
Hari ini, jaman batu memang sudah berlalu, kita tidak lagi menyimpan jasad dan barang-barang berharga di dalam makam. Pemakaman sudah modern, dibuat dari semen dan barang-barang berharga diwariskan atau disumbangkan.
Namun ada nilai-nilai yang bisa kita peroleh dari keberadaan beberapa sarkofagus saat ini adalah, karya adalah identitas, dan identitas adalah jati diri.
Sarkofagus membuktikan bahwa jati diri leluhur kita adalah petani. Penekanannya adalah, menjadi masyarakat yang hidup seimbang dengan alam, mensejahterakan manusia dengan memuliakan alam.
Terlebih dengan isu-isu lingkungan hari ini, khususnya di kawasan Danau Toba, menurunnya ketinggian permukaan air Danau Toba dari waktu ke waktu dan menumpuknya sampah plastik di pinggir Danau Toba.
Generasi milenial, harus mampu merefleksikan kembali jati diri sebagai generasi muda Batak lewat karya-karya, yang nantinya kita wariskan sebagai mahakarya, bukan sampah di pinggiran Danau Toba dan permukaan Danau Toba yang terus menyusut.
Berbagai aksi yang bisa dilakukan sebagai milenial adalah, bertani dengan prinsip keberlanjutan, bijak menggunakan plastik dan mendaur ulang, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang ramah lingkungan dan memulai dari diri sendiri.
Penulis : Gomgom Lumbantoruan
Editor : Mahadi Sitanggang