Samosir, NINNA.ID-Di balik semilir angin Danau Toba dan ketenangan alam Samosir yang memikat, tersimpan kegelisahan dan semangat perubahan dari sekelompok pelaku pariwisata lokal.
Dalam sebuah diskusi hangat namun penuh harapan bersama anggota DPRD Samosir, para pengurus Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Samosir menyampaikan unek-unek yang telah lama terpendam.
Bukan hanya tentang tantangan teknis lapangan, tetapi tentang visi besar membangkitkan geowisata dari jantung Kaldera Toba.
Ketika Pemandu Tak Siap, Pariwisata Tak Tumbuh
“Kami ingin orang yang jadi pemandu wisata itu bukan sekadar ikut-ikutan. Atau sekadar menambah jumlah anggota HPI saja tanpa ada job yang dia terima. Tapi benar-benar siap mental, siap fisik, dan siap professional untuk jadi pemandu.”
Kalimat ini mengemuka dari Daniel Manik, salah satu pengurus HPI. Ia menuturkan kekhawatiran terhadap menurunnya kualitas pelayanan di lapangan akibat lemahnya kesiapan SDM.
Contohnya mungkin sederhana, namun mencerminkan persoalan mendasar. Pernah, seorang pemandu lokal dijadwalkan menjemput tamu di Bandara Silangit, tapi sang pemandu karena tidak terbiasa melakukan pekerjaan tersebut bukannya tiba di Silangit malah sampai di Muara.
Melihat kondisi ini, HPI Samosir mengusulkan perlu adanya pelatihan.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan semangat. Butuh proses pembelajaran. Selain itu, perlu seleksi terhadap mereka yang berkeinginan menjadi pemandu. Karena saat tamu datang, itu adalah momentum emas untuk menunjukkan kualitas,” ujar Daniel Manik pada diskusi HPI Samosir bersama anggota DPRD Samosir Juliana Pardede di Samosir Cottage, Senin 28 April 2025.

Polemik Pengelolaan Geopark: Ketika yang Lama Tak Lagi Diakui, dan yang Baru Belum Siap
Dalam diskusi tersebut, mencuat pula persoalan pelik seputar pengelolaan Geopark Kaldera Toba. Para peserta mempertanyakan transisi kepengurusan yang dinilai tidak transparan.
Tim lama yang pernah menjabat berdasarkan SK tahun 2020 kini tak lagi difungsikan. Namun ironisnya, tim baru pun belum memiliki struktur yang solid dan belum menjalankan peran secara efektif.
“Yang lama tidak dipakai, yang baru belum jelas. Bahkan gaji pun kami tidak terima lagi sejak beberapa bulan terakhir,” ungkap Melanie Butar-Butar salah satu pegawai yang mengurus Geosite Ambarita yang juga adalah anggota HPI Samosir.
Disebutkan pula bahwa tim baru beranggotakan lima orang yang berasal dari luar Kawasan Danau Toba, salah satunya akademisi dari UNIMED.
Mereka dikabarkan sudah menyiapkan dokumen untuk UNESCO, namun tanpa koordinasi dengan pengurus lama atau komunitas lokal yang selama ini aktif di lapangan.
Kondisi ini menimbulkan kebingungan arah dan kekhawatiran tentang keberlanjutan pengelolaan geopark, yang seharusnya menjadi tumpuan utama pengembangan wisata edukatif di Kawasan Danau Toba.
Menyalakan Kembali Api Geowisata dari Akar Komunitas
Namun di balik persoalan tersebut, diskusi justru memunculkan gagasan yang menyala-nyala: bagaimana jika inisiatif geowisata digerakkan langsung dari masyarakat lokal yakni dimulai dari HPI Samosir?
HPI Samosir menyampaikan visi menarik—mengembangkan wisata edukatif berbasis geologi dan budaya di jalur-jalur yang belum banyak disentuh, namun memiliki potensi luar biasa.
Kawasan Huta Siallagan menjadi sorotan. Bukan hanya karena nilai sejarahnya, tetapi juga karena tata letak batunya yang khas, disusun tanpa semen—menjadi contoh konkret teknik konstruksi tradisional yang sarat makna geologi.
“Kalau kita bisa menjelaskan bagaimana batu-batu itu (baca: tembok Huta Siallagan) disusun, bagaimana warisan geologi itu nyata di depan mata, kita bukan hanya bercerita—kita mengajar, kita menginspirasi,” kata Annete Siallagan, Dewan Kehormatan HPI DPC Samosir dengan penuh semangat.
Ia menganjurkan agar anggota HPI Samosir bisa menyusun skenario paket edukasi untuk sekolah-sekolah internasional dari Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, hingga Bangkok.
Formatnya bisa berupa kunjungan akhir pekan, di mana siswa belajar langsung tentang warisan alam, sejarah geologi Kaldera Toba, dan praktik budaya lokal.
Samosir sebagai Laboratorium Geowisata Terbuka
Gagasan besar yang mengemuka dalam diskusi ini berakar dari kesadaran bahwa Samosir adalah “jantung” dari Kaldera Toba.
Dari 16 titik geopark yang diakui, lima berada di wilayah ini. Bahkan, puncak Kaldera Toba—bagian terdalam dan paling monumental dari sejarah letusan purba itu—berada di kawasan ini.
“Geopark ini bukan milik satu lembaga, tapi milik kita bersama. Dan yang paling tahu nilainya adalah mereka yang hidup di sekitarnya,” ujar Melanie menyelingi ide tersebut.
Dengan memperkuat kapasitas lokal dan mengembangkan konten wisata berbasis pengetahuan, HPI Samosir percaya bahwa sektor pariwisata dapat bergerak ke arah yang lebih berkelanjutan.
Bukan lagi sekadar jualan pemandangan, tetapi menghadirkan pengalaman yang membuka wawasan, terutama bagi generasi muda.
Dari Dialog ke Aksi: Harapan pada Kolaborasi Nyata
Pertemuan ini menjadi titik awal dari serangkaian langkah strategis yang ingin dibangun. HPI Samosir berharap dukungan legislatif dan pemerintah daerah bukan hanya pada tataran kebijakan, tetapi juga dalam bentuk fasilitasi pelatihan, penguatan kelembagaan, dan pengakuan terhadap inisiatif warga.
Mereka juga ingin pengelolaan geopark lebih terbuka, akuntabel, dan berbasis kolaborasi. Karena hanya dengan sinergi antarpemangku kepentingan—komunitas, pemerintah, akademisi, dan pelaku wisata—mimpi menjadikan Samosir sebagai pusat geowisata dunia bisa menjadi kenyataan.
Di tengah guncangan transisi, muncul harapan baru. Harapan yang tumbuh dari bawah, dari orang-orang yang percaya bahwa tanah kelahiran mereka punya cerita besar untuk dunia—asal diberi ruang, dukungan, dan kepercayaan.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga