NINNA.ID – “Tek…Tek…Tek”. Jari seorang pria mengetuk kaca pintu sebelah kiri mobil yang mengantre di sekitar pelabuhan milik swasta, di Pelabuhan Ajibata. Tidak jelas petugas dari mana pria itu karena tidak memakai uniform atau tanda pengenal apapun.
“Sepuluh ribu ya pak. Udah kutempelkan nomor antrean,” ujarnya sembari mengulurkan tangan.
Ini salah satu aksi dan komunikasi yang terjadi jika terjebak antrean ingin menyeberang ke Pulau Samosir di Ajibata atau sebaliknya di Tomok. Sejumlah uang yang diminta pria tanpa identitas tadi, katanya, untuk biaya parkir dan mendapatkan nomor antrean agar bisa masuk ke lokasi pelabuhan. Jika sudah di pelabuhan, memang dipastikan akan ikut diangkut dalam kapal ferry penyeberangan.
“Kenapa mahal kali. Aku orang Samosir.” Silahkan debat dengan cara itu namun menggunakan bahasa Batak Toba. Maka praktis, akan mendapatkan potongan 50%. Pertanyaannya, siapa para pria itu? Tanpa seragam, tanpa karcis? Jika biaya parkir kenapa bisa tawar menawar juga? Lagian, itu bukan parkir tapi antre. Kalau biaya antre, ini luar biasa. Memang siapa yang suka antre, membayar pula.
Pembayaran sejumlah uang yang tak tahu untuk apa dan oleh siapa itu, menambah kesal saat harus mengantre di pelabuhan penyeberangan menuju Pulau Samosir ataupun sebaliknya. Rasanya seperti dipalak. Apalagi waktu antre sudah berjam-jam. Bahkan pernah ada yang punya pengalaman, harus menginap di pelabuhan menunggu pagi baru bisa menyeberang.
Bentuk kekesalan lain yang dialami saat sudah mengantre berjam-jam, ketika menjumpai atau bertemu para kru kapal (yang mengenakan uniform kapal ferry). Kalau tak ingin tambah kesal, jangan sesekali bertanya kepada mereka. Pasalnya, terkadang mereka menjawab seenaknya saja yang membuat hati semakin panas. Selera berwisata ke Danau Toba bisa luruh.
Antrean dan keluh kesah calon penumpang kapal itu sudah berlangsung lama, terlebih jika libur hari besar dan akhir pekan. Antrean itu tetap belum teratasi, walaupun sudah ada Kapal Ferry Ihan Batak yang dikelola pemerintah. Antre disertai keluh kesah wisatawan menjadi bumbu basi dalam barisan.
Terlambat ikut menyeberang, minimal 2.5 jam menunggu kedatang ferry dari seberang. Itupun kalau sudah masuk dalam komplek pelabuhan. Kalau masih di luar, artinya dua kali, bahkan bisa tiga kali lebih lama waktu menunggu. Seperti sindiran dari medsos di bawah ini.
Walaupun akses penyeberang ke Pulau Samosir saat ini sudah dikepung pelabuhan ferry, tetap saja antrean mengular sering terjadi. Di tiga pelabuhan utama penyeberangan menuju Pulau Samosir, Ajibata (Tao Toba I dan II) dan Ihan Batak di Kabupaten Toba serta dari Tigaras Kabupaten Simalungun (Sumut I dan II), antrean ini masih terjadi.
Pemerintah di kawasan Danau Toba, khususnya Pemkab Samosir, Pemkab Toba dan Pemkab Simalungun harusnya melihat dan melakukan improvisasi dengan apa yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Provinsi yang telah menyediakan fasilitas penyeberangan berupa kapal ferry.
Ferry Penyeberangan 24 Jam
Horor Penyeberangan ini, harusnya tidak terjadi selama bertahun-tahun jika masing-masing daerah berkoordinasi untuk memecah kebuntuan masalah penyeberangan itu.
Ada banyak kemungkinan faktor penyebab antrean. Sebagian berpendapat, jumlah kapal ferry di sana masih kurang. Ukuran kapal ferry kurang besar. Waktu penyeberangan yang terbatas.
Dari tiga kemungkinan penyebab antrean itu, tampaknya poin ketiga paling memungkinkan dilakukan. Pemerintah, baik itu di kawasan Danau Toba, Provinsi hingga Pusat seharusnya memikirkan bagaimana penyeberang ke Pulau Samosir atau Danau Toba berlangsung 24 jam, tanpa harus menunggu momen libur besar seperti Idul Fitri atau Natal dan Tahun baru.
Agak sulit untuk menyetujui Danau Toba sebagai Destinasi Wisata Super Prioritas Unggulan, jika mengatasi masalah penyeberangan saja tidak ada yang mampu.
Tiket Online
Beruntung ada Menko Marvest Luhut Binsar Panjaitan, yang baru-baru ini datang lagi ke kawasan Danau Toba. Saat mengadakan rapat terbatas dengan Bupati Sekawasan Danau Toba, tercetus ide Bupati Samosir Vandiko Gultom, untuk memberlakukan Tiket Online Penyeberangan. Dan Menko Marvest setuju, Agustus nanti, itu mulai dilakukan.
Walau belum terbukti ampuh, namun secara teori, dengan tiket online inilah kemungkinan bisa mengatasi horor penyeberangan. System tiket online, yang dalam rapat itu dikatakan butuh waktu sebulan untuk merancangnya, harus benar-benar efektif.
Sosialisasi harus gencar agar masyarakat luas segera mengetahui dan menyesuaikan. Dengan tiket online, calon penumpang ferry pasti sudah bisa mengatur waktu perjalanannya sampai ke pelabuhan.
Dengan mengetahui kepastian jadwal menyeberang, bisnis di sekitar pelabuhan juga akan berjalan lebih santai. Makan minum di rumah makan sekitar tidak terburu-buru, memilih dan membeli souvenir lebih teliti atau pengusaha sekitar bisa melirik cuan baru di sekitar Pelabuhan Ajibata dan Tigaras.
Mulailah berfikir untuk membuka restoran “Makan Sepuasnya”, “Pijat Refleksi”, “Spa” atau “Bioskop Mini”. Wisatawanpun sudah merasakan atmosfer Destinasi Wisata Super Prioritas Unggulan saat masih di pelabuhan.
Penulis  : Mahadi Sitanggang
Editor   : Mahadi Sitanggang