Herman Nababan, Pejuang Mossak dari Humbang Hasundutan

BERSPONSOR

NINNA.ID – Namanya Herman Nababan. Beberapa kali kami sudah berjumpa pada panggung yang sama. Pernah di Sileme-leme. Beberapa kali di Sipinsur. Juga di Tuan Nagani. Ia membawa Sanggar Seni Nabasa, saya dari Sanggar Maduma. Secara pribadi, saya sangat salut padanya. Ia ramah. Rendah hati. Dan tentu saja gigih.

Bukan tanpa sebab saya menilai dia gigih. Saya tahu, ia bukan orang berada. Sama seperti saya. Namun, di tengah keterbatasan materi, ia tetap setia untuk menggeluti mossak. Dari sini saya paham, ia bukan orang yang terlalu mengutamakan uang. Tak banyak orang seperti dia. Dulu, saya mengenal Bang Thompson Hs.

Dalam kesaksian saya, Thompson Hs tegar berkebudayaan meski di tengah kekurangan materi. Kini, Thompson Hs sudah dikenal di mana-mana. Namun, hal itu wajar mengingat perjuangannya. Saya menilai, Herman Nababan akan seperti Thompson Hs. Ia punya tekad dan modal yang kuat: kegigihan, kesungguhan, keikhlasan. Ia benar-benar ikhlas.

Saya pikir seperti itu. Dua kali terakhir ketika tampil bersama, ia membawa anak-anak sanggarnya. Di festival Sisingamangaraja, ia membawa 15 orang. Sanggar saya sendiri sebenarnya lebih banyak: 21 orang. Dihitung dari pendapatan dari festival itu, harusnya makin dikit, makin banyak. Tetapi, ia membawa banyak.

BERSPONSOR

Mungkin, ia tak melihat uangnya. Begitu juga ketika di Tuan Nagani pada 17 Agustus kemarin. Ia juga membawa banyak orang. Ketika di Tuan Nagani, saya pastikan saya mendapat uang lebih banyak. Kami hanya 6 orang. Ia membawa puluhan. Namun, di sinilah saya menilainya dengan tulus: ia orang yang benar-benar peduli pada mossak.

Bahwasanya ia butuh uang, sudah pasti. Sama seperti saya, saya juga butuh uang. Namun, saya melihatnya bahwa baginya, uang bukan lagi segala-galanya. Karena itulah saya menuliskan tentang dia di sini. Ia belum diracuni semangat untuk mencari uang. Mungkin, ini erat kaitannya dengan filosofi mossak. Atau, bagaimana ia mendapat mossak.

Dan memang, begitulah adanya. Kata Herman, ia mendapat pengetahuan mossak ini dari mimpi. Ia juga mengaku diajari lewat mimpi. Unik dan sedikit tak masuk akal. Tetapi, saya percaya. Lalu, setelah dari mimpi itu, ia menjelajah banyak daerah. Tujuannya sederhana: belajar mossak. Mulai digeluti dengan tekun sejak tahun 2018.

Dalam perjalanannya, ia bertekad akan menyebarkan mossak ini pada segala penjuru mata angin. Dalam bahasa Batak: tu desa na ualu.

Tentu, ini perjuangan yang tak mudah. Soalnya, masyarakat sudah tidak peduli pada budayanya. Jadi, kata Herman, andai tak ada pelaku mossak, masyarakat akan sangat tidak peduli. Tidak mau tahu.

BERSPONSOR
TERKAIT  Laporan Observasi Martondi Heritage Indonesia Foundation terhadap Bakkara (Bagian 1)

Padahal, tradisi mossak ini perlu. Sangat perlu. Karena itu, dalam pikiran saya, bukanlah sesuatu yang sulit untuk menyebarkan semangat mossak. Pemerintah daerah hanya perlu memulai dari sekolah. Masuk, misalnya, pada mata pelajaran muatan lokal. Atau, ekstrakurikuler. Atau, bahkan melalui mata pelajaran olahraga.

Maksud saya, menyebarkan mossak ini cenderung mudah. Pemerintah hanya perlu menggunakan tenaga dan pikiran para pelaku melalui ruang-ruang pendidikan. Hanya memang, kita patut bertanya: sejauh mana pemerintah perhatian pada tradisinya? Bukankah saat ini kita lebih suka karate atau tinju atau kungfu, atau, atau, dan atau lainnya?

Saya sangat bermimpi, mossak ini dihadirkan ke sekolah. Biarkan para pelakunya datang sebagai pembimbing utama. Toh, tujuan mossak tidak untuk melindungi diri saja, apalagi melukai orang lain. Tujuan mossak bukan juga bukan untuk berkelahi. Mossak adalah ideologi. Mossak itu urusan hati, urusan kebatinan, urusan penghalusan perasaan.

Dalam tafsir pendidikan, mossak menjadi sarana efektif untuk membangun karakter. Percayalah, ke depan, orang yang peduli pada karakter, kebatinan, dan perasaanlah yang dapat bertahan hidup dengan bahagia. Kita sudah harus mengubah pola pikir bahwa kecerdasan otak akan berakhir. Sudah ada mesin hitung. Jadi, mari berubah.

- Advertisement -

Mulailah menyentuh masyarakat melalui budaya. Melalui seni. Melalui tradisi. Sebab, dari sinilah kreativitas muncul. Dari sinilah kematangan dibentuk. Maksud saya, ayo, pedulilah pada tradisi kita. Berdayakan para pelaku kesenian tradisional, seperti pelaku mossak. Toh, mereka adalah orang-orang ikhlas dan gigih dan mereka pantas untuk itu.

 

Penulis   : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor      : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU