Guru Pertama Meninggal di Belanda dari Tanah Batak

BERSPONSOR

NINNA.ID – Indonesia mengagungkan Ki Hadjar Dewantara. Ia menjadi tema utama dunia pendidikan. Ia pantas untuk itu. Namun, kita tak bisa melupakan tokoh lainnya. Ia malah tak kalah heroik dari Ki Hadjar Dewantara. Ia lebih dahulu dari Ki Hadjar Dewantara. Jadi, ada yang lebih pelopor daripada Ki Hadjar Dewantara.

Namanya Satie. Sering dipanggil Willem Iskander. Ia bermarga Nasution. Ia seorang Batak. Ia jadi pahlawan. Ia membangun sisa-sisa kehancuran Perang Paderi. Ia membangkitkan kembali semangat masyarakat Tanah Batak. Bahkan di luar geografi Batak. Sebab, siswanya sangat banyak. Menyebar hingga negeri jauh.

“Murid-muridnya tersebar. Bukan hanya di Tapanuli, tetapi juga di Nias, Singkil, Sumatera Barat, dan daerah sekitarnya,” kata Basyral Hamidi Harahap dalam bukunya Peranan Willem Iskander dalam Pembaharuan (1986). Sekolah yang pionir. Sekolah ketiga di Hindia Belanda setelah Soerakarta dan Fort The Kock.

Namanya sekolah Tano Bato. Kweekschool Tano Bato. Kualitasnya sangat bagus. Tentu saja bagus di masanya. Baru satu tahun berdiri, tepatnya September 1863, Gubernur Van den Bosch datang dari Padang untuk menginspeksi sekolah itu. Gubernur itu kemudian menilai. Mengapresiasi. Lalu membuat laporan.

BERSPONSOR

Laporan ke pemimpin atasannya: Gubernur Jenderal Ludolph Anne Jan Wilt Sloet van Belle. Kala itu masih dalam surat. Tepatnya konon pada 13 September 1863.
Dalam surat itu, ia mengaku kagum. Kesannya dia tulis dengan kata-kata ‘zeer ontwikkeld, hoogst ijverig’ yang artinya sangat cerdik, terpelajar, sangat rajin, dan tekun.

Karena Sekolah Tano Bato kualitasnya bagus, dua tahun kemudian diambil-alih pemerintah kolonial dan dijadikan sebagai sekolah guru negeri atau Kweekschool. Konon, direncanakan untuk ditingkatkan kapasitasnya dan dipindahkan ke Padang Sidempuan. Satie Nasution lalu dikirim ke Belanda.

TERKAIT  Bakso Red Devil, Harapan Baru Nelayan dan Usaha Kuliner

Rencananya untuk belajar lagi. Sayang, setahun kemudian, Satie Nasution meninggal dunia di Belanda. Ia menjadi kenangan. Tak banyak yang mengenangnya. Bahkan, jangan-jangan, guru di Tanah Batak pun tak tahu pada sosoknya. Padahal, ia setara Ki Hadjar Dewantara. Ia juga sosok yang sangat aktif. Produktif.

Ia menulis buku. Menulis prosa. Juga menerjemahkan karya dari Belanda ke Mandailing dan Melayu. Buku terjemahannya yang pertama adalah Si Hendrik Na Denggan Roha. Karya aslinya berjudul De Brave karya N. Anslijn Nz. Salah satu buku anak-anak terpopuler di Belanda pada masa itu.

BERSPONSOR

Karya terjemahan lain yang monumental adalah Taringot Di Ragam-Ragam Ni Parbinotoan Dohot Sinaloan Ni Alak Eropa (Beragam Pengetahuan dan Kepandaian Orang Eropa). Karya ini berisi paparan tentang kemajuan teknologi Eropa. Ia sangat peduli pada budaya. Ia tak minder pada budaya kolonial.

Malah, ia memberikan tiga buah syarat. Syarat supaya Sekolah Guru makin berkualitas. Pertama, sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kini, kita bertanya, seberapa peduli kita pada budaya kita? Kedua, guru sekolah guru harus mampu menulis buku pelajaran. Kita tetap bertanya.

Apakah ada guru menulis? Atau, diberi kesempatan menulis. Ketiga, bahasa daerah harus dikembangkan sesuai kaidah-kaidah bahasa. Kita pantas bertanya untuk itu: seberapa peduli kita pada kaidah bahasa daerah? Saya cenderung ragu. Namun, keraguan belum berarti apa-apa. Tanpa tindakan. Tanpa eksekusi. Selamat hari guru.

Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU