Samosir, NINNA.ID-Di balik pesona Danau Toba yang membentang luas dan megah, ada sosok-sosok tak terlihat yang selama ini menjadi jembatan antara budaya Batak dan para pelancong dunia: para pemandu wisata lokal.
Akan tetapi di tengah geliat pariwisata yang terus bertumbuh, keberadaan mereka justru masih gamang—tanpa perlindungan hukum, tanpa pengakuan resmi, dan kerap kali terpinggirkan di tanah sendiri.
Pada sebuah diskusi antara Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Samosir dengan salah satu anggota DPRD Samosir baru-baru ini, keluh kesah itu mengemuka dengan lantang.
HPI Samosir mengadakan diskusi intensif dengan anggota DPRD Kabupaten Samosir Komisi 3 Juliana Pardede untuk memperjuangkan pengakuan resmi, perlindungan hukum, dan dukungan anggaran bagi para pemandu wisata lokal di tengah berkembangnya sektor pariwisata daerah.
“Kita sudah punya identifikasi sebagai anggota HPI. Tapi perlu ada pengakuan resmi dari pemerintah daerah agar kerja kita sah dan terlindungi,” ujar Gading Siallagan, salah satu perwakilan HPI dalam diskusi yang dilaksanakan pada Senin 28 April 2025 di Samosir Cottage.
Para pemandu wisata mendesak agar pemerintah daerah dan DPRD segera mengesahkan regulasi yang mengakui eksistensi mereka, melindungi profesi mereka, serta memperjelas standar pelayanan pariwisata di Samosir.
“Kami sudah bersertifikat, kami sudah berjuang menjaga citra Samosir di mata dunia. Tapi sampai hari ini, status kami di mata hukum masih seperti bayang-bayang,” ujar Daniel Manik pengurus HPI Samosir dengan suara berat.

Lebih dari sekadar pengakuan, ketiadaan regulasi telah membawa konsekuensi nyata. Kasus-kasus wisatawan yang mendapatkan informasi keliru tentang budaya Batak, atau merasa tersesat dalam pengalaman wisatanya, bukan lagi cerita baru.
Semua ini, menurut HPI, terjadi karena lemahnya sistem, di mana siapa saja bebas membimbing wisatawan tanpa kontrol atau standar yang jelas.
Ironisnya, pemandu-pemandu luar daerah sering kali datang membawa rombongan tanpa melibatkan guide lokal.
Padahal, menurut aturan di HPI nasional, seharusnya pemandu luar yang memasuki daerah wisata wajib berkoordinasi dan memanfaatkan jasa guide lokal untuk menjaga mutu pelayanan dan kearifan lokal.
“Ini tentang menjaga harga diri Samosir. Kalau guide dari luar bisa seenaknya membawa tamu tanpa tahu budaya kita, siapa yang akhirnya menanggung malu?” tanya Gading Siallagan, seorang pemandu senior, mengutip beberapa insiden di mana budaya Batak disalahartikan dalam tur wisata.
Di forum tersebut, suara-suara mendesak agar DPRD Samosir mengambil langkah konkret, tidak hanya sebatas wacana.
HPI meminta DPRD tidak lagi menunggu bola dari eksekutif, melainkan memprakarsai hak inisiatif legislatif berupa Peraturan Daerah (Perda) atau minimal Peraturan Bupati (Perbup) tentang Pemandu Wisata Lokal.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi? DPRD harus berani berdiri bersama kami,” ujar Melanie Butar-Butar dalam diskusi penuh semangat.
DPRD Samosir, dalam pertemuan itu, menyatakan terbuka untuk mengawal aspirasi ini. Namun komitmen di atas kertas belum cukup.
Diperlukan langkah nyata: membentuk tim penyusun regulasi, menggelar rapat dengar pendapat publik, dan memastikan bahwa anggaran untuk pelatihan, sertifikasi, serta pengembangan kapasitas guide lokal benar-benar dianggarkan dalam APBD.
Samosir Butuh Tindakan, Bukan Janji
Pariwisata adalah masa depan Samosir. Tapi masa depan itu tidak bisa dibangun di atas ketidakpastian.
Guide lokal, sebagai ujung tombak interaksi budaya, perlu dipayungi, dibina, dan diberdayakan. Tanpa mereka, Samosir hanya akan menjadi destinasi yang kehilangan jiwanya.
Kini, bola ada di tangan DPRD Samosir. Di tangan para wakil rakyat itu, bergantung apakah Samosir memilih untuk melindungi anak-anak daerahnya, atau terus membiarkan mereka berjuang sendiri di tengah arus wisata yang semakin deras.
Waktunya bertindak. Bukan untuk kepentingan segelintir orang, tetapi untuk masa depan pariwisata Samosir yang berdaulat, bermartabat, dan berkelanjutan.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga