TOBA – Ada yang menarik saat rapat penajaman rencana aksi UNESCO Global Geopark Kaldera Toba dari Bappeda Sumatera Utara, Selasa (19/10/21) kemarin. Dalam pertemuan itu terungkap, dari 100 orang yang tinggal di kawasan Kaldera Toba saat ini, hanya dua orang yang tahu, ternyata mereka tinggal di kawasan yang telah ditetapkan sebagai TC-UGGp (Toba Caldera Unesco Global Geopark).
Data itu merupakan hasil survey yang disampaikan Direktur Utama BPODT (Badan Pengelola Otorita Danau Toba) Jimmy Panjaitan. Menurut dia, masyarakat di kawasan itu hanya tahu pariwisata secara umum.
Penyebab itu terjadi kata dia, disebabkan beberapa faktor. Salah satunya bahwa TC-UGGp ini kurang perhatian, terlebih dari sisi pembiayaan. Kondisi inilah yang memengarui tidak adanya partisipasi masyarakat karena belum tahu apa itu TC-UGGp.
Minimnya dukungan pembiayaan terhadap TC-UGGp (Toba Caldera Unesco Global Geopark) juga diamini Ketua Harian BP-TC UGGp, Mangindar Simbolon.
Faktor ini kata Mangindar, membuat lembaga yang dipimpinnya saat ini, bekerja sebatas pengabdian semata. Padahal, melatih pemandu lokal berbasis Geopark di masing-masing Geosite sangat perlu. Termasuk melaksanakan edukasi kepada masyarakat dan anak sekolah. Semua itu bisa terlaksana jika ada dukungan pembiayaan.
Dalam pertemuan di TIC – The Kaldera Toba Nomadic Escape, Sibisa, Kabupaten Toba itu mencuat, bahwa ternyata ada beberapa rekomendasi dari Unesco untuk mempertahankan status Toba Caldera Unesco Global Geopark itu. Rekomendasi itu dapat terlaksana dengan harapan ada dukungan pemerintah kabupaten di kawasan Kaldera Toba.
Respon Pengelola Geosite
Di waktu yang berbeda, ninnA.id mewancarai berapa pengelola Geosite terkait buruknya popularitas Kaldera Toba di tengah masyarakat di kawasan Danau Toba. Mereka menyampaikan faktor penyebab ketidaktahuan masyarakat Sekawasan Danau Toba tentang apa itu Kaldera Toba.
Pengelola Geosite Silalahisabungan Kabupaten Dairi, Rikson Sihombing, menungkapkan, salah satu faktor itu adalah kurangnya dukungan terhadap pengelola.
“Sebagai pengelola Geosite, kita tidak pernah diberikan dukungan bagaimana untuk mensosialisasikan tentang Geopark secara maksimal,” ujarnya kepada ninnA.id.
Rikson menyampaikan, apa yang dilakukan selama ini hanya semangat dan inisiatif sendiri tanpa dukungan apapun, untuk melakukan sosialisasi.
Tidak adanya dukungan pembiayaan, kata Rikson, bukan semata-mata penyebab utama. Ternyata, selama ini komunikasi antara badan pelaksana dengan pengelola juga minim.
“Kurangnya keakraban komunikasi antara Badan Pelaksana dengan pengelola Geosite itu menjadi salah satu penyebab. Semangat dan berkomunikasi dengan baik sangat perlu dilakukan,” kata Rikson.
Pengelola Geosite Taman Eden Lumbanjulu, Kabupaten Toba, Marandus Sirait menanggapi data yang disampaikan Dirut BPODT Jimmy Panjaitan dengan sedikit berkelakar.
Menurut dia, jika survey di kalangan PNS hasilnya akan 50:50, tidak 2 : 100 seperti hasil survey yang disampaikan Jimmy itu. Artinya, hanya orang-orang tertentu yang tahu tentang Geopark karena tidak booming tersosialisasi.
“Tidak semata-mata karena dukungan dana memang. Tapi kalau hanya karena kekuatan kita, hasilnya tidak akan seberapa,” ujar Marandus ketika ditanyakan terkait kebutuhan dana dan dukungan.
Ada yang menarik disampaikan Marandus selama ini terkait hubungan Kaldera Toba dengan pemerintah daerah. Selama mengikuti berbagai kesempatan bersama dengan pemerintah, ternyata masih ada Bupati yang tidak pernah menyinggung apa itu Kaldera Toba dalam pidato-pidatonya.
Di akhir obrolan, Marandus sedikit satir terkait keberadaan Kaldera Toba. Di akhiri gelak tawa dia mengatakan, tentang Geopark seolah sudah hilang dari ingatannya, karena pemerintah juga kurang peduli.
Pengelola Pusat Informasi Geopark Toba, Parapat Simalungun, Corry Panjaitan sependapat dengan pernyataan Jimmy tentang hasil survey yang menyimpulkan, hanya 2 dari 100 orang yang tahu tentang Geopark.
“Kita tidak pernah sosialisasi dan wajar itu. Kita sosialisasi memang kurang, bahkan kepada orang yang sudah kita kasih tahupun belum tentu tahu dan paham,” jawab Corry kepada ninnA.id.
Corry juga mengakui belum ada bahasa yang gampang menerjemahkan Geopark agar lebih cepat diingat dan dipahami masyarakat.
“Itulah yang belum kita pikirkan selama ini, bahasa marketing yang menjadi bahasa sehari-hari tentang Geopark,” lanjut Corry.
Selain persoalan sosialisasi yang minim itu, Corry menyoroti program kerja berupa draft rencana aksi dari Badan Pengurus(BP) Geopark, belum jelas untuk dasar pengajuan penganggaran.
Kurang pedulinya pemerintah setempat tentang Geopark, juga dirasakan pengelola Geosite Hutatinggi Samosir, Tetti Naibaho. Kata dia, kepala desa sekitaran Danau Toba pun belum tentu tahu tentang Geopark karena kurangnya sosialisasi.
“Kalau Hutatinggi, kelompok sadar wisatanya dan sekolah-sekolah terdekat tentunya tahu karena memang kita sosialisasikan,” ungkap Tetti.
Tetti juga sepakat, pembiayaan menjadi salah satu penyebab sosialisasi yang kurang. Namun begitu, para pengelola Geosite juga kurang dibekali untuk mensosialisasikan Geopark kepada gereja-gereja ataupun kelompok masyarakat dan perkumpulan-perkumpulan.
Penulis : Asmon Pardede
Editor : Mahadi Sitanggang