NINNA.ID – Segala sesuatu ada masa dan waktunya. Rumput kering di musim kemarau, kemudian hijau kembali karena hujan turun menyiraminya. Ada waktu berpikir dan merenung, ada waktunya membuat rencana dan ada pula saatnya mengungkapkan isi hati. Mangala Bulan dan istrinya Si Boru Panuturi di waktu senggang marnonang-nonang (ngobrol) di teras rumah. Ada isi hati yang menggantung, yang ingin segera dicurahkan.
Mereka mempunyai rencana untuk mengunjungi keluarga mereka, Batara Guru dan istrinya Si Boru Parmeme. Istri Mangala Bulan sangat setuju mengenai rencana itu. Mangala Bulan menyuruh istrinya Si boru Panuturi agar menyiapkan oleh-oleh terbaik, agar Batara Guru senang. Rencana kunjungan itu, dalam istilah Batak, “marhori-hori dingding”. Melakukan penjajakan ke rumah calon besan,
Tibalah waktunya Mangala Bulan dan istrinya berangkat menuju ke rumah keluarga Batara Guru, dan tidak lupa membawa oleh-oleh. Oleh-oleh kepada orang yang dihormati, dalam kebiasaan orang Batak, sebagai bagian dari tata kerama dan adat istiadat.
Sepanjang perjalanan, hati Mangala Bulan gelisah. Ada keraguan, apakah mereka diterima dengan baik oleh Batara Guru. Namun menginat mereka adalah abang adik kandung, walau sekian tahun belakangan mereka sudah menyapa dengan panggilan “Lae” (ipar), maka rasa gelisah itu dibuangnya. Maka mantaplah kakinya berjalan menuju rumah Batara Guru.
Setibanya di depan pintu rumah, tak menunggu lama daun pintu rumah Batara Guru terbuka begitu diketuk. Dan alangkah senang hati Mangala Bulan ketika yang menyambutnya di pintu, langsung Batara Guru dan istrinya. Raut wajah Batara Guru dan istrinya juga terlihat gembira menyambut mereka.
“Horas…horas…horas ” mereka saling membalas salam sembari mempersilahkan Mangala Bulan dan istrinya Si Boru Panuturi masuk ke rumah. “Masuk ma hamu Lae dohot hamu Ito” ( mari silahkan nasuk ),” kata Batara Guru.
Si Boru Panuturi dengan tersenyum menyerahkan oleh-oleh yang dibawa kepada Si Boru Permeme. Selanjutnya duduklah mereka di ruang tamu. Sambil duduk di atas lage (tikar pandan), mereka saling bertanya kabar dan menikmati suguhan dari tuan rumah.
Adapun Si Boru Deak Parujar tidak kelihatan di tengah-tengah pertemuan itu. Sudah menjadi kebiasaan, apabila ada pertemuan antara orang tua, maka anak-anak tidak boleh ikut bergabung. Lagipula Si Boru Deak Parujar selalu sibuk bertenun di belakang rumah.
Di saat yang tepat di tengah percakapan, Batara Guru memperbaiki duduknya. Bersila tegak dengan menegakkan kepala. Dia lalu bertanya maksud kedatangan Mangala Bulan.
“Marikah kita berbicara Lae! Tadi kita sudah banyak mengobrol mengenai banyak hal dan saling bertanya juga mengenai kabar kita masing-masing. Saya bersyukur dengan pertemuan ini kita berada dalam keadaan sehat dan hati senang. Sekarang Lae dan keluarga datang berkunjung ke rumah kami ini, di samping bersilaturahmi tentulah ada maksud dan tujuan (diama lakkatna diama unokna, diama hatana dia manidokna). Lae! Kami sudah siap mendengar apa yg hendak Lae sampaikan,” ujar Batara Guru.
Mendengar itu, Mangala Bulan terkejut karena Batara Guru seolah tahu rencananya berkunjung. Diapun mengaku, lidahnya terasa kelu untuk menyampaikan isi hatinya dalam tujuan kunjungan keluarga itu. Tapi Batara Guru dengan tanggap meyakinkan agar Mangala Bulan tak perlu ragu karena mereka adalah keluarga dekat.
“Baiklah. Begini. Anak saya Siraja Odap Odap sudah dewasa. Sudah watunya bagi dia membangun sebuah keluarga (mardongan saripe). Jika Mulajadi Nabolon berkenan dan Lae juga berkenan, saya ingin kita bisa besanan Lae (marbesan),” ungkap Mangala Bulan.
Ijinkanlah kiranya Si Boru Deak Parujar menjadi parumaen (menantu perempuan) kami dan anak kami Siraja Odap Odap menjadi hela (menantu laki-laki) Lae.
Sesaat mereka terdiam, terutama Batara Guru dan istrinya Si Boru Parmeme. Mereka berpikir dan menimbang-nimbang permohonan Mangala Bulan, apakah langsung diterima, terlebih sebelumnya dia juga berniat menjodohkan Si Boru Deak Parujar kepada Siraja Odap Odap. Namun dengan bijak, Batara Guru mengatakan kalau niat mereka itu sangat baik. Hanya saja, keputusan masih harus dibicarakan dengan putri mereka Si Boru Deak Parujar.
“Nauli Lae, nauli. Rade do hami paimahon manang songon dia alusmuna (Kami akan menunggu dengan tulus apapun jawaban dan keputusan Lae dan keluarga},” ujar Mangala Bulan.
Tidak lama kemudian mereka berpisah. Batara Guru dan istri turut mengantar Mangala Bulan dan istrinya sampai di depan pintu. Hati mereka lega, mengetahui maksud kunjungan itu dan hati Mangala Bulan dan istrinya juga lega, telah menyampaikan niat mereka, menjodohkan Siraja Odap Odap dengan Si Boru Deak Parujar.
Seperti biasa, matahari terbit di ufuk Timur lalu mendaki hingga sampai di puncak tengah hari, menunggu turun dan akan menghilang di ufuk Brat. Sore hari sebelum matahari menghilang, Batara Guru dan istrinya Si Boru Parmeme memanggil Si Boru Deak Parujar untuk membicarakan hal yang penting.
“Deak! Beberapa hari yang lalu Amangborumu Mangala Bulan disertai Namborumu Si Boru Panuturi telah datang ke rumah ini. Mereka mengutarakan niat dan harapannya agar kamu dapat menerima dan bersedia menjadi parumaen mereka. Pada waktu itu Bapak dan Ibu belum memberi jawaban dan keputusan. Sekarang bagaimana Deak? Maukah kamu menerima Siraja Odap Odap menjadi calon suamimu?” tanya Batara Guru kepada Deak, panggilan sehari-hari Si Boru Deak Parujar.
Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Si Boru Deak Parujar. Dia menundukkan kepala, ada sedikit rasa malu-malu. Wajahnya pun kelihatan memerah. Tak lama dia menjawab.
“Apakah Bapak dan Ibu setuju?” Pertanyaan itu langsung dijawab oleh Bapaknya. “Kalau kamu tidak menolak untuk menerima lamaran mereka, tentu kami orang tuamu akan merestui dan rasanya akan berbahagia jika hal itu terjadi.”
Si Boru Deak Parujar masih menimbang-nimbang, meskipun di hatinya ada rasa suka, lalu dia akhirnya memberi jawaban lagi kepada orang tuanya.
“Jika Bapak dan Ibu memandang hal ini baik dan itu dapat membuat hati Bapak dan Ibu senang, saya bersedia menerima Siraja Odap Odap menjadi calon suami,” kata Deak.
Mendengar jawaban si Deak, legalah hati bapak dan ibunya. Batara Guru mengatakan akan melaksanakan pesta perkawinan besar, pada hari yang akan ditentukan bersama.
Kini di hati bersemi rasa cinta, walaupun belum pernah bertemu dengan Siraja Odap Odap. Bunga mekar di relung hati Si Boru Deak Parujar, ini adalah pertanda hati akan saling berlabuh. Tetapi tunggu dulu, ada ungkapan Batak mengatakan,”Partandang pe ninna doli-doli, partadangan do anak boru”.
Si Boru Deak Parujar belum mengenal dan belum pernah bertemu dengan Sijara Odap Odap. Dia penasaran, meski sudah mengangguk setuju, tapi dia tidak mau seperti membeli kucing dalam karung. Secara diam-diam Si Boru Deak Parujar memutuskan akan menyelidiki, dan memastikan seperti apa rupa Siraja Odap Odap, apakah ganteng dan baik hati atau bagaimana ?
Si Boru Deak Parujar mulai mengumpulkan informasi mengenai hal itu. Bisik-bisik tentang Siraja Odap Odap juga sangat penting baginya. Berhari-hari Si Boru Deak Parujar menyelidiki, belum juga ada titik terang. Memang ada juga bisik-bisik yang menggambarkan ciri-ciri Siraja Odap Odap, tapi belum mendekati kepastian. Sekecil apapun informasi mengenai Siraja Odap Odap diingat dengan baik.
Dan waktunya tiba. Akhirnya tahulah Si Boru Deak Parujar, ternyata rupa Siraja Odap Odap tidaklah seperti yang dibayangkan. Jauh dari rupa seorang pria yang rupawan. Rupa Siraja Odap Odap sangat tidak enak dilihat. Bentuk wajahnya persis seperti Illik (kadal). Hal ini membuat Si Boru Deak Parujar tersentak dan terkaget-kaget. Rasa cintanya hambar. Hatinya benci dan merasa jijik melihat tampang Siraja Odap Odap. Dia bersumpah tidak akan sudi menikah dengannya. Dia merasa jijik…Jjik…dan…Jijik.
Penulis : Roy M Siboro (warga Bekasi)
Editor   : Mahadi Sitanggang