NINNA.ID – Franz Magnis Suseno, seorang guru besar filsafat moral Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara hadir sebagai saksi ahli, Senin (26/12/2022). Dia dihadirkan kubu Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu.
Sebagai pengajar kelompok mata kuliah filsafat moral dan politik, Franz Magnis Suseno memberikan sejumlah pandangannya terkait status Eliezer.
Eksekutor penembak Yosua atau Brigadir J itu mengaku tidak mampu menolak perintah mantan atasannya, Ferdy Sambo, yang kini juga menjadi terdakwa untuk kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Ada dua poin utama, kata Romo Magnis, yang dapat meringankan kesalahan Eliezer di tragedi 8 Juli 2022 tersebut.
“Yang paling meringankan adalah kedudukan yang memberi perintah itu. Kedudukan yang lebih tinggi, yang jelas berhak memberi perintah, setahu saya, di dalam kepolisian tentu akan ditaati,” kata Magnis Suseno.
Kepolisian Republik Indonesia, kata Magnis Suseno, memiliki budaya untuk selalu melaksanakan perintah atasannya. Kondisi ini semakin meyakinkan, dengan usia Eliezer yang masih berusia 24 tahun dan merupakan polisi muda dengan minim pengalaman.
“Eliezer masih 24 tahun, masih muda, tentu akan laksanakan. Ada budaya laksanakan, itu adalah unsur yang paling kuat,” jelasnya menambahkan.
Keterbatasan waktu ketika penembakan terjadi, juga menjadi sorotan guru besar STF Driyarkata.
Kata Romo Magnis, waktu yang singkat ditambah situasi genting membuat Eliezer tidak mampu mengambil keputusan dengan kepala dingin.
“Yang kedua, tentu keterbatasan situasi. Itu situasi yang tegang, yang amat sangat membingungkan, di mana saat itu dia harus segera menentukan akan melaksanakan atau tidak,” terang Romo Magnis.
“Tidak ada waktu untuk melakukan suatu pertimbangan matang, di mana kita umumnya suka mengambil waktu tidur dulu, yang jelas (tidak bisa dilakukan) sehingga dia harus langsung bereaksi. Menurut saya itu dua faktor yang secara etis sangat meringankan,” lanjutnya.
Ada poin terakhir yang menjadi sorotan Romo Magnis dalam perintah Sambo kepada Eliezer. Romo Magnis menilai, selama ini ada perintah tembak dari atasan ke bawahan di institusi kepolisian selayaknya lembaga kemiliteran.
“Dalam kepolisian, seperti di dalam situasi pertempuran militer, memang bisa ada situasi di mana atasan memberi perintah tembak. Itu di dalam segala profesi lain, bahwa seorang atasan di kepolisian memberi perintah tembak itu tidak total, sama sekali, tidak masuk akal,” kata Romo Magnis.
Romo Magnis menegaskan perintah yang sama memang tidak berlaku untuk masyarakat sipil. “Tapi di polisi itu lain, karena atasannya dia dalam situasi tertentu bisa memberikan (arahan tembak), berarti juga resistensi di dalam yang menerima perintah itu lebih lemah,” tandas Romo Magnis.
Editor : Mahadi Sitanggang