NINNA.ID – Ada banyak komentar miring. Ini bagian dari kritik. Kata mereka, Festival Sisingamangaraja salah tempat jika dilakukan di Sipinsur, Humbang Hasundutan. Sesuatu yang bisa diterima sebenarnya. Sangat bisa diterima. Namun, logika yang sama bisa dilakukan: mengapa Festival Bung Karno ada di Medan? Ada di Manado? Mestinya dilakukan di tempat lahir dan mati dong?
Tetapi, ya, begitulah. Bung Karno ternyata bukan lagi sebatas milik warga di mana ia dilahirkan, di mana ia meninggal. Bung Karno sudah menjelma melebihi asal usulnya.
Ia tak lagi sebatas Jawa. Ia lebih luas dari Jawa. Ia sudah menjadi Indonesia. Karena itu, apakah orang Jawa di Blitar berhak melarang supaya Bung Karno tidak dibuat jadi narasi festival?
Kalau pertanyaannya dengan kata kunci berhak, ya, orang Jawa di Blitar berhak untuk mengkritik. Namun, mereka tak berhak mengklaim bahwa segala yang bersangkutan tentang Bung Karno harus mutlak milik orang Jawa di Blitar. Semua kita berhak merayakan semangat hidupnya sebagai orang Indonesia. Semua kita. Saya pikir kita sepakat di sini.
Ya, ya, ya. Bu Megawati bisa protes. Bisa saja. Secara Bu Mega adalah keturunan biologis. Namun, apakah mungkin Bu Megawati protes?
Dengan pikiran besar, pasti Bu Mega tidak mau. Pasti tidak mau protes. Soalnya, jika ia protes, posisi Bung Karno makin kecil. Kecil sekecil-kecilnya. Bung Karno menjadi sebatas ayah dari Megawati. Ia tak lagi tokoh milik Indonesia.
Untung Bung Megawati tidak protes. Untung orang Jawa di Blitar tidak protes. Pada kacamata seperti ini kita mestinya membaca Festival Sisingamangaraja.
Betul, semua kita tahu bahwa pusat kerajaan ada di Bakara. Namun, apakah Sisingamangaraja hanya milik orang Bakara, hanya milik marga Sinambela? Oh, bukan Sinambela secara umum.
Sebab, Sisingamangaraja adalah Sinambela Bona ni Onan. Nah, apakah Festival Sisingamangaraja hanya milik Sisingamangaraja Bona ni Onan? Kalau demikian halnya, percayalah, kita justru mengecilkan ketokohan Sisingamangaraja.
Ia tak lagi tokoh karismatik untuk Tanah Batak. Ia hanya milik orang Baktiraja. Begitukah? Sekecil itukah Sisingamangaraja?
Sekali lagi, orang kecil pun tahu. Pusat istana Sisingamangaraja ada di Bakara. Dulu, Bakara namanya adalah Dairi Bagasan. Tetapi, sekecil itukah ruang lingkup Sisingamangaraja? Apalagi, Sisingamangaraja tidak hanya personal. Ia dinasti. Bung Karno secara biologis hanya satu orang. Sementara itu, Sisingamangaraja ada 12. Terakhir Patuan Bosar. Itu nama lahirnya.
Nama kebesaran keluarga dipanggil Ompu Pulo Batu. Nama karismatiknya jadi Raja Sisingamangaraja XII. Saya secara pribadi tahu arti protes dari pemberi komentar. Tahu sekali. Bersama Balai Arkeologi pada Agustus hingga menjelang Oktober tahun 2021 kemarin, saya ikut meneliti. Saya menjadi tim pencari data etnografi. Saya tahu bahwa Sisingamangaraja lebih besar daripada sekadar Bakara.
Bukti kebesarannya ada di mana-mana. Semua kota di Indonesia mempunyai nama dengan nomenklatur Jalan Sisingamangaraja. Lalu, apakah kita protes atas pemberian jalan itu karena nama jalan itu mestinya ada di Bakara? Entahlah. Namun, sejujurnya, sebagai tokoh besar, semua orang Humbang sah menjadikan nama besar sebagai bagian dari nama perayaan.
Itu sama maknanya ketika kita menghargai Bung Karno, bahkan Yesus. Yesus kita hargai tidak sebatas di Betlehem dan Golgota. Oke, mungkin, kita akan berteriak: Sisingamangaraja bukan Bung Karno, bukan pula Yesus. Jangan dibandingkan dengan nama-nama tenar dan besar tersebut. Lalu, dengan siapa Raja Sisingamangaraja harusnya dibandingkan?
Dengan Ompu milik keluarga sehingga segala perayaan harus di tempat muasal Ompu milik keluarga? Misalkan ompu saya Ompu Juperto Situmorang. Ada di Hutapaung. Nah, apakah Sisingamangaraja harus dibandingkan ke Ompu saya itu? Entahlah. Namun, bagi saya, Sisingamangaraja adalah nama besar. Siapa pun bisa merayakannya dengan tujuan baik.
Kalau semua orang Batak, konon lagi Humbang bukan? Betul. Betul. Betul. Sekali lagi, Sisingamangaraja pusatnya ada di Bakara. Siapa pun tahu itu, terutama orang Humbang. Tetapi, boleh dong merayakannya di mana-mana dengan tujuan baik. Apalagi penyelenggaraan festival ini adalah untuk niat baik. Bebar-benar niat baik.
Pertama, sembari memperkenalkan destinasi wisata di Sipinsur. Kedua, pasti pengunjung akan banyak di Sipinsur pada hari libur. Apakah salah memperkenalkan perjuangan Sisingamangaraja pada orang banyak? Saya tak sedang mengecilkan posisi Sisingamangaraja. Ia lebih besar dari yang saya bayangkan. Karena ia sangat besar, apakah tak bisa membonceng ide pariwisata pada nama besar Sisingamangaraja?
Saya berpikir sederhana. Ini seperti endorse. Mengapa ada endorse? Karena ingin menumpang pada nama besar. Kita boleh memandang festival ini dalam kacamata endorse dengan memakai nama besar Sisingamangaraja bukan? Sekali lagi, saya tak sedang memandang kecil Sisingamangaraja. Saya justru memandangnya besar sehingga semua kita berhak mengabadikannya.
Saking besarnya, kini makam Raja Sisingamangaraja XII ada di Balige. Dan, penamaan kegiatan ini pun diambil dengan kata tegas: festival. Dalam KBBI, festival berarti pesta rakyat; hari atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa penting dan bersejarah. Saya sangat gembira karena Sisingamangaraja adalah milik semua orang Batak. Atau, apakah saya salah jika merasa memilikinya?
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang