NINNA.ID – Saya masih ingat betul. Kami harus menebang bambu. Menariknya hingga ke tengah halaman. Termasuk sulit menebang bambu ini. Karena ia sudah menyemak. Rimbun. Dan, cabang-cabangnya begitu mengganggu. Kadang, pisau tak bisa diayun. Karena itu, kami harus memanjat di ketinggian tertentu.
Setelah jarak ayun tangan mulai lega, kami pun akan memotong bambu. Setelah jatuh, menariknya juga butuh tenaga ekstra. Sebab, kadang bambu itu menggantung. Kadang tersangkut. Di sinilah kami ramai-ramai menariknya. Jika tak kunjung bisa, maka kami akan memotong bambu yang lainnya. Kulit kami akan terasa sangat gatal.
Tapi, kami seakan tak peduli. Kami harus mendapat bambu. Kebetulan, kampung kami khas perkampungan tradisional. Di hampir semua tepian kampung ada tumbuh bambu. Kini, bambu itu sudah bisa kami tarik hingga ke halaman. Daunnya kami berikan ke kerbau. Dan, kami mulai memotong. Biasanya masing-masing tiga ruas.
Kami tak tahu siapa yang mengajari kami membuat meriam bambu. Tetapi, itu sungguh prestasi luar biasa. Masih duduk di bangku SD, kami sudah bisa menebang bambu. Menariknya hingga ke halaman. Lalu membuatnya jadi meriam. Anak-anak sekarang belum tentu bisa melakukannya. Dan, kami pun mulai mencoba. Semula memberinya minyak tanah.
Saya pribadi, untuk mendapat minyak tanah, butuh pendekatan luar biasa kepada orang tua. Kebetulan, hari itu kami sangat miskin. Miskin sekali. Untuk mendapat seliter dua liter minyak tanah, saya dan adik-adik harus membereskan semua pekerjaan rumah. Mulai dari mencabut rumput untuk kerbau hingga mencari makanan babi. Dan, minyak tanah itu pun ada.
Kami mulai bergembira. Menyalakan api, memasangnya ke mulut meriam bambu. Ada semburan api. Tapi, kami sangat tangkas untuk menutupnya dengan daun-daunan. Dan, semburan itu tertanam. Sebagai tekanan, ia meledak. Terjadilah suara yang keras. Kami bergembira. Terkadang, tangan kami tak tangkas menutupnya. Terjadilah semburan. Dan, alis kami ludes terbakar.
Hampir setiap tahun kami tak punya alis. Semua terbakar oleh meriam.
Sungguh sangat seru. Karena di seluruh perkampungan, kami akan berlomba. Ada dentuman. Malam menjadi meriah. Suara meriam menguasai malam. Terkadang, di puncak Natal atau tahun baru, orang-orang dewasa menonton. Bahkan ikut bermain. Kepada kami sering diberikan makanan kecil.
Kami akan sangat bergembira lagi. Karena suatu saat, perantau akan datang menonton. Kami menjadi lebih bersemangat. Rasa sakit, gatal, dan lelah menebang dan menarik bambu itu terbayar sudah dengan kegembiraan dan kegembiraan. Semua anak di kampung betul-betul bergembira. Kami bahkan akan saling bercerita tentang meriam bambu itu di gereja ketika Natalan tiba.
Saat ini, sejak saya kuliah, saya tak melihat kebiasaan itu lagi. Bambu masih tumbuh. Tapi, kanak-kanak tak memperhatikannya lagi. Mereka mulai hemat tenaga. Membeli mercon. Membeli kembang api. Atau malah menonton handphone. Sudah terjadi pergeseran. Tepatnya mungkin kemajuan. Kemajuan zaman tentu saja. Betul, hanya kemajuan zaman.
Sebab, kemampuan kanak-kanak justru malah berkurang. Mereka tak bisa lagi menebang bambu. Tak bisa menariknya. Apalagi membuat meriam bambu. Orang tua pun tak memaksa kanak-kanak lagi. Zaman sudah berubah. Anak semakin dimanja. Maka, ketika ditegur, kadang Si Anak langsung menangis. Mereka tak lagi tegar dan kuat. Mereka jadi seperti strawberry.
Menawan. Ranum. Indah. Merah. Namun, begitu disentuh, ia terkelupas. Itulah generasi strawberry. Beda dengan kami dulu. Mungkin justru kelihatan menjijikkan. Brutal. Sadis. Tetapi, kami kukuh. Kami kuat. Kami tegar. Karena itu, saya mendadak rindu peristiwa itu lagi. Suara bertalu-talu dari meriam bambu. Tetapi, semua tak ada lagi. Kini, sudah diganti oleh mercon, handphone, juga televisi.
Mungkin hanya saya seorang diri yang merasakan ini. Rindu suara dentuman meriam. Karena itu, saya punya minat untuk membuat festival meriam bambu. Sayang, festival ini barangkali akan kalah gaung. Namanya festival. Mungkin ujung-ujungnya akan berakhir pada hadiah kepada siapa yang menang. Kita tak peduli lagi bahwa karena meriam bambu itu, kita pernah bahagia.
Satu yang pasti. Kini sudah masuk dalam agenda saya di Sanggar Maduma. Tahun depan, akan membuat festival meriam bambu. Akan ada mungkin pentas. Akan ada tari-tarian. Akan ada Opera Batak. Sebab, saya yakin, bahwa tidak hanya saya yang rindu kebiasaan ini.
Kita mungkin hanya malu bahwa mana mungkin lagi kita bermain meriam bambu? Menyuruh anak pun akan punya kesulitannya sendiri. Intinya, ini program kami di masa depan. Semoga kita saling membantu dan saling mengingatkan. Kali ini mungkin dari kami di Humbang Hasundutan. Semoga kita bisa kembali pada kebahagiaan di masa kanak-kanak itu.
Penulis   : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor    : Mahadi Sitanggang