Oleh: Mangaliat Simarmata
Tahun 2024 Trail of the Kings, event lari lintas alam bertajuk internasional yang digelar di Danau Toba oleh Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), digadang-gadang sebagai ajang prestisius.
Bahkan tahun ini 2025, acara ini masuk ke dalam kalender UTMB World Series, satu dari 54 event bergengsi di dunia, katanya!
Judulnya megah. Biayanya, konon, luar biasa besar. Tapi mari kita jujur: apa dampak nyatanya bagi warga Danau Toba, khususnya masyarakat lokal Samosir?
Ketika ajang Trail of the Kings edisi perdana digelar Mei 2024 lalu, ekspektasi melambung tinggi. BPODT menargetkan 1.000 pelari, dengan iming-iming kehadiran ratusan peserta mancanegara.
Kenyataannya? Hanya 400 peserta yang mendaftar jelang hari H, dan mayoritas adalah warga lokal. Kabar baiknya: berkat inisiatif Pemkab Samosir dan masyarakat sendiri, jumlah peserta naik menjadi 700 orang. Tapi apakah fakta ini harus dirayakan, atau justru jadi alarm?

Mengapa Dana Besar, Dampaknya Kecil?
Event internasional, apalagi berlisensi UTMB, jelas bukan perkara kecil. Tapi pertanyaan kritis yang tak bisa dihindari adalah: Karena ini event internasional bagaimana agar hasil riil dihubungkan dengan masyarakat lokal, PAD dan devisa negara.
Sayangnya, yang banyak terlihat justru kemewahan acara, panggung megah, dan panitia yang—lagi-lagi—kebanyakan bukan putra-putri daerah.
Event yang katanya “untuk mengangkat nama Danau Toba ke mata dunia”, tapi justru menyisihkan peran warga lokal yang semestinya menjadi subjek utama, bukan objek pameran. Apakah ini hanya jadi ajang “hoga-hoga” elite pariwisata?
Realitas Pahit di Balik Panggung
Kawasan Danau Toba (KDT) saat ini masih berstatus kartu kuning dari UNESCO Global Geopark. Alih-alih melakukan perbaikan ekologis dan peningkatan kapasitas masyarakat, kita justru sibuk mengejar “internasionalisasi event”.
Padahal, kondisi alam Danau Toba sendiri belum layak untuk dipamerkan ke dunia luar.
Kerusakan hutan masih masif, pencemaran danau akibat keramba jaring apung (KJA) semakin parah, enceng gondok tumbuh tak terkendali.
Sampah menumpuk di tepian danau, dan tempat memancing pun tidak ada yang layak dan bahkan jika ada dibiarkan tak terurus. Jalan-jalan rusak belum diperbaiki. Tapi kita sibuk menggiring narasi bahwa kawasan ini siap jadi panggung dunia.
Apakah ini bukan justru membuka aib kita sendiri kepada publik internasional?
Ajang Internasional, Tapi Rakyat Lokal Penonton
Kritik terbesar dalam pelaksanaan event ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat lokal sebagai pelaksana utama (EO).
Bukankah seharusnya masyarakat lokal dilibatkan dari perencanaan, logistik, hingga pelaksanaan? Mereka yang tahu medan, tahu adat, dan tahu bagaimana memperkenalkan Danau Toba dengan jujur dan tulus.
Sebaliknya, yang tampak justru panggung yang diisi panitia dari luar daerah, dengan narasi-narasi besar yang tak membumi.
Apa gunanya embel-embel “internasional”, jika isinya hanya mengulang praktik lama: dana besar, hasil tak jelas, dan warga lokal cuma dijadikan latar belakang foto-foto promosi?
Belajar dari Kegagalan dan Mulai Membenahi
Trail of the Kings bisa jadi momentum refleksi. Jika memang tahun depan event ini akan digelar lagi, evaluasi menyeluruh harus dilakukan. Mulai dari:
- Audit anggaran secara transparan.
- Keterlibatan penuh warga lokal sebagai EO, volunteer, pemandu, dan UMKM.
- Fokus memperbaiki infrastruktur dan kondisi lingkungan sebelum sibuk jualan event.
- Libatkan generasi muda lokal dalam pelatihan event management, bukan hanya jadi penonton atau penggembira.
Dan yang paling penting: jadikan masyarakat lokal sebagai pemilik narasi, bukan sekadar figuran demi branding pariwisata proyek semata.
Salam Kritis, Bukan Pesimis
Membangun pariwisata berbasis komunitas bukan berarti anti terhadap event internasional. Tapi harus diingat: pariwisata tanpa masyarakat hanyalah ilusi.
Jika benar-benar ingin Danau Toba bersinar di mata dunia, bersihkan dulu danau dan hutan di sekitarnya. Pulihkan dulu alam yang sudah lama rusak, bukan sekadar membersihkannya secara seremonial setiap ada event.
Bangun dulu kepercayaan dan kemampuan masyarakat lokal agar mereka menjadi penjaga utama Danau Toba.
Setelah itu, undang dunia untuk datang dan menyaksikan keindahan yang nyata, bukan sekadar panggung penuh polesan.
Bagaimana kita bisa mengundang pelari dari seluruh dunia menikmati lintasan alam, jika hutannya terus digunduli dan danaunya tercemar? Sudah saatnya tindakan nyata, bukan hanya festival dan janji manis.
Salam dari saya Mangaliat, putra daerah Kawasan Danau Toba