Dulu Orang Batak itu Sangat Ramah dan Murah Hati, Kini?

NINNA.ID-Mama setuju aku dibawa ke Samosir untuk menjaga nenek buyut boru Simarmata. Sebenarnya nenek buyutku boru Nadeak.

Namun, para tua di Hutaraja angkat dia menjadi anak perempuan di keluarga besar Simarmata di Hutaraja. Dibuatlah dia jadi boru Simarmata.

Usiaku saat itu 8 tahun kelas yakni 2 SD dan hendak lanjut ke kelas 3 SD saat pindah ke Hutaraja.

Tibalah aku di Hutaraja Lumban Suhi-Suhi Toruan. Besoknya, aku dipersiapkan untuk pergi ke SD di Alngit Lumban Pasir, Samosir.

Aku kaget saat anak-anak berkerumun di depan rumah Omnya Mama yang ku panggil Opung.

Ternyata anak-anak itu menyambutku untuk jalan bersama mereka menuju sekolah.

Sekalipun tidak mengerti apa yang anak-anak seusiaku itu perbincangkan, aku sangat merasa mereka mempedulikanku.

Begitu tiba di sekolah, sejumlah anak memaksakan diri mereka untuk berbicara bahasa Indonesia kepadaku.

BERSPONSOR

Aku ingin sekali tertawa saat itu karena logat Batak mereka sangat kental. Pulang sekolah mereka pun beramai-ramai antar aku kembali ke rumah Opung.

Rutinitas itu terus berlanjut sampai bahkan menjelang aku tidak lagi di Lumban Suhi-Suhi Toruan.

Setiap kali aku main ke Hutaraja dan berada di salah satu rumah tetangga, tiap itu juga aku akan ditawarkan makanan dan minuman.

Apa saja yang mereka miliki pasti disuguhkan ke aku.

- Advertisement -

Sikap ramah dan murah hati itu tidak bisa ku lupakan hingga sekarang. Beda sekali suasana di Hutaraja dibandingkan dengan di Kota Medan.

Orang di kampung ini berasa seperti satu keluarga.

Sudah ramah orang-orang di Hutaraja, lebih hebat lagi ramahnya orang-orang di Huta Sidaji Kecamatan Simanindo.

Saat aku dikirim Opung ke Sidaji ke rumah adeknya, di sana aku disambut tidak hanya anak-anak tetapi juga orang tua-orang tua mereka.

Mereka langsung ingin tahu aku siapa. Sambil cerita, sambil mereka keluarkan makanan satu per satu.

Semua berlomba menyajikan makanan ke hadapanku. Aku merasa jadi tamu paling istimewa saat itu.

Sambutan itu bukan hanya karena itu kali pertama aku tiba di sana.

Setelah aku berkali-kali kesana semasa kecil, sikap orang di Huta Sidaji pun masih sama. Mereka selalu menyapa dan mau berbagi denganku.

Hutaraja
Suasana Hutaraja Kampung Ulos kini (foto: Damayanti)

Sekarang

Setelat tamat SMA, dan bahkan semasa SMA, aku merasa orang Batak sangat gemar selalu ingin jadi nomor 1.

TERKAIT  Filosofi Rumah Tradisional Batak Toba (1)

Sebenarnya, pendidikan di sekolah sudah salah kaprah mengajarkan anak-anak semangat menjadi  nomor 1.

Bukannya mendidik, semangat itu malah menularkan atmosfer negatif.

Maka tak jarang, orang Batak menganggap dirinya lebih hebat, pandang rendah orang lain, tak ada ramahnya sama sekali, serta tidak peduli perasaan orang lain.

Itulah yang ku rasakan saat aku beranjak dewasa.

Bertolak belakang dengan waktu aku SD, aku merasa orang Batak itu sangat ramah dan murah hati.

Bahkan sewaktu menjadi Guru Komputer di salah satu sekolah swasta ternama di Kota Medan, teman-temanku paling tidak suka sama sejumlah orang Batak.

Hanya beberapa saja guru suku Batak yang mereka mau dekat.

Beberapa orang Batak menurut mereka sangat kasar dan menjengkelkan.

Alasannya jelas, mereka sering diperlakukan buruk dan kasar oleh orang Batak di lingkungan sekolah tersebut.

Akan tetapi, bukan hanya orang Batak saja begitu. Nyaris merata sikap itu dimiliki oleh orang di Medan.

Aku juga kebingungan dengan Kota Medan yang sama sekali asing dan tak ramah sepulang dari Papua.

Semua pada berambisi untuk nomor satu. Selalu ada pengkotak-kotakan.

Aku selalu berusaha untuk menyapa kawan-kawan semasa kuliah. Tapi sepertinya itu hanya impian sulit. Semua melintas macam mobil di jalan!

Ambisi kesombongan diri sangat berasa di mana-mana.

Sebab sifat ini menular kemana-mana, menimbulkan atmosfer negatif di masyarakat.

Atmosfer yang Mana?

Semasa kecil, pulang kampung adalah hal yang paling ku nantikan untuk jumpa orang-orang di kampung.

Belakangan, karena sikap selalu ingin jadi no 1 menular kemana-mana, kerinduan untuk jumpa orang-orang di kampung pun berkurang.

Suasana kekeluargaannya tidak seperti dulu.

Ajaran untuk selalu jadi no 1 ini benar-benar salah kaprah!

Telah menyebabkan banyak orang berpendidikan malah mati rasa, tidak peka, tidak peduli dan hanya memikirkan kepentingan pribadi.

Maka tidak heran sejumlah pejabat yang berasal dari Tanah Batak terjerat korupsi.

Sebab, selama ini mereka hanya memikirkan kepentingan dirinya yang selalu ingin jadi no 1.

Masihkah kita mempercayai dan mempertahankan semangat untuk jadi no 1?

Ataukah kita tergerak untuk mengembalikan semangat menganggap orang lain lebih tinggi dari kita? Dan menularkan semangat ramah-tamah dan murah hati orang Batak?

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU