NINNA.ID – Dua tahun sudah Danau Toba jadi geopark (10 Juli 2020 – 10 Juli 2022). Hanya empat tahun jatahnya. Setelah itu, dievaluasi lagi.
Artinya, kita punya dua tahun lagi. Mungkin hanya dua tahun lagi. Siapa tahu setelah itu, langsung dihapus? Siapa tahu. Dan, itu tak mustahil. Toh, belum ada pergerakan kita yang maksimal untuk menjaga status geopark tersebut. Kita hanya berhenti pada rasa bangga.
Bangga sih tak apa-apa. Masalahnya, apa cukup sebatas bangga, lalu tak berusaha untuk mempertahankan?
Terus terang, saya lumayan curiga pada masa depan Danau Toba. Sangat mungkin status itu akan dihapus. Apalagi, komitmen kita untuk menjaga lingkungan terbatas sekali.
Lembah selalu ditambang. Hutan selalu digundul, digundul, dan digundul.
Siapa saja. Masyarakat biasa, korporat, bahkan mungkin juga birokrat. Di hutan Lae Pondom tahun lalu tersiar berita gundulnya hutan alam. Oleh siapa lagi kalau bukan oleh kita?
Begitu juga di hutan lainnya. Artinya, kita semua bertanggung jawab atas semua penggundulan hutan tersebut. Tentu saja terutama adalah korporat. Merekalah dalang paling bertanggung jawab.
Saya teringat sewaktu saya SD. Pada saat itu, mungkin ada ratusan truk kayu per hari yang diangkut. Bahkan, lebih. Itu masih dari arah kampung kami. Bagaimana lagi dari kampung di kota lain?
Saat itu, kayunya adalah kayu alam. Jadi, bukan kayu yang ditanam atau dibudidayakan. Saya berhitung dalam hati. Kayu itu tidak mereka tanam.
Jalan tidak mereka buat. Lalu, mereka mengambil semua kayu yang tak mereka tanam itu. Warga dibuat jadi pekerjanya. Ayah saya termasuk di dalamnya. Mereka seperti budak. Untung bayarannya lumayan besar di kala itu.
Setelah kayu itu dikumpulkan, kayu itu diantar ke sebuah pabrik. Diantar lewat jalan yang tidak mereka buat pula.
Nenek saya pernah bercerita. “Jalan ini kami yang buat. Kami dipaksa Jepang. Disiksa. Nyaris tanpa gaji,” demikian nenek saya bercerita. Artinya, jalan itu dirintis leluhur dengan siksaan, dengan nyaris tanpa gaji.
Indonesia lalu merdeka. Itu sebuah berkat. Maka, jalan mulai diperbaiki. Aspal beton dibuat. Ibaratnya, Indonesia tinggal mengaspal.
Membuka jalan itu adalah leluhur yang disiksa penjajah. Nah, dari jalan yang dibuka dengan penuh siksaan itulah ratusan truk per harinya berlewatan. Begitu selalu sehingga jalan gampang rusak. Saya lalu bertanya: siapa mereka kok enak kali tinggal mengambil kayu yang tak mereka tanam dan lewat jalan yang tak mereka buat. Kok enak sekali hidup mereka.
Saya sih tak sepenuhnya protes. Apalagi jika ada kiprah mereka untuk daerah ini. Namun, apa sih kiprah mereka? Memberikan tong sampah dari drum? Membuat plakat jangan dengan kalimat “jagalah hutan!”.
Kalau sebatas itu, saya protes. Saya tak ikhlas. Pertama, itu bukan kayu yang mereka tanam. Kedua, itu bukan jalan yang mereka buat.
Karena itu, seharusnya mereka bersyukur dan tahu terima kasih. Jika sudah menggundul hutan, ya tanam lagi. Kalau sudah merusak alam, ya perbaiki lagi. Kalau sudah mengancam dan menakut-nakuti warga, ya minta maaf dan berikan penghargaan. Masih banyak lagi. Tak cukup sebatas drum dan plakat. Maksud saya, berkiprah dong untuk menjaga geopark Toba.
Masih banyak lagi sesungguhnya yang mau saya utarakan. Termasuk untuk pemerintah, sejauh mana sih mereka berkomitmen untuk menjaga lingkungan dan melaksanakan rekomendasi UNESCO? Saya melihat nyaris tidak ada.
Bahkan, BPODT saja hanya banyakan obral janji. Saya orang yang paling heran, BPODT ini sebenarnya kerjanya apa ya?
Entahlah. Saya tak tahu pasti. Namun, ada cara untuk mengujinya. Coba, misalnya, selama 2 tahun ini BPODT dihilangkan, apakah status geopark Danau Toba terjaga dan semakin baik? Kalau terjaga, berarti BPODT nonsense. Sebaliknya, coba BPODT tetap ada, tetapi status Danau Toba malah makin memburuk, berarti BPODT sama sekali tak berguna, malah mengacau bukan?
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang