“Ini kacang ito, kacang. Ada juga mie goreng dan ada telur rebus. Kacang, kacang”
SAMOSIR – Itu adalah suara-suara para pedagang makanan dan minuman di atas kapal motor penyeberangan (KMP) Feri Tao Toba, trip Ajibata menuju Tomok. Suara-suara itu ada yang nyaring dan ada yang parau, meninggi seiring deru mesin-mesin mobil yang mulai bermasukan ke lambung kapal.
Para pedagang yang mayoritas kaum ibu itu, terlihat mondar-mandir menjajakan dagangannya. Suara mereka seolah beradu kuat dengan suara kru kapal yang sedang mengatur parkir mobil di dalam kapal.
Meski kadang para penumpang sudah mengelak atau memberi tanda dengan tangan tidak ingin membeli, namun para ibu itu tidak langsung menyerah.
Mereka terus menawarkan. Terkadang wajahnya terlihat memelas sampai hati penumpang feri luluh dan akhirnya membeli.
Begitu kapal akan berlayar, banyak pedagang tadi bergegas turun dari kapal. Namun tidak dengan Rosmaida Gurning.
Pedagang mie, kacang dan telur rebus yang sudah renta ini tetap ikut dalam penyeberangan. Dia sudah terbiasa mengikuti kapal berlayar agar bisa berjualan sepanjang perjalanan.
Wanita yang lahir pada tahun 1950 ini awalnya berjualan di kapal kayu penyeberangan, dan 15 tahun terakhir berjualan di kapal feri swasta ini. Hampir separuh dari usianya dihabiskan sebagai pedagang mie, kacang dan telur rebus di atas kapal.
Rosmaida Gurning yang sudah melewati 70 kalender masehi ini mengaku, sudah kalah stamina dalam berjualan.
Staminanya yang jauh menurun, tidak lagi mampu berjualan hingga sore. Setiap pukul 14.00 WIB, dia dikalahkan lelah.
Walau sudah terbilang uzur, namun sampai sekarang , mie goreng, kacang dan telur rebus yang dijualnya dimasak sendiri di rumah setiap hari.
“Dagangan akhir-akhir ini selalu sisa. Telur rebus bisa sisa 10, kacang bisa sisa dua bungkus. Penumpang sudah sepi, apalagi ada virus corona ini,” ujar perempuan yang sudah bercucu ini kepada NINNA.ID.
Sambil merapikan rambutnya yang sudah beruban, Rosmaida mengaku, selama berjualan di kapal, kebutuhan hidupnya seperti untuk membeli beras dan lauk pauk setiap hari bisa terpenuhi. Bahkan dulu, saat masih kuat, ia juga berjualan hingga malam hari sampai operasional kapal tutup. Hasil berjualannya bisa menyekolahkan anak-anaknya.
“Anak saya tiga, semuanya bisa saya sekolahkan. Satu perempuan dan dua laki-laki. Anak saya yang bungsu laki-laki sudah bekerja di Jakarta dan sudah membantu kami,” ungkapnya.
Sebelum pandemi virus corona, dia mengatakan, hasil jualannya bisa membantu putri sulungnya yang juga berjualan di dermaga Ajibata dan bisa memberi uang jajan cucunya.
Selama 30 tahun berjualan mie, kacang dan telur rebus, Rosmaida menikmati suka duka kesehariannya. Berbicara dengan banyak penumpang kapal dan akhirnya membeli jualannya, merupakan rasa suka yang ditunggu setiap hari.
Soal duka, sebenarnya tidak terlalu tepat dikatakan duka. Lebih tepatnya sebatas ikut bertanggungjawab bersama para pedagang lain menjaga kebersihan di dalam kapal. Sampah-sampah yang berserakan harus dibersihkan dan kapal harus disapu saat tiba di Tomok dan juga saat tiba di Ajibata. Jika kotor dan banyak sampah, nahkoda kapal akan marah kepada mereka. Duka sebenarnya, jika jualan tidak habis terjual.
Tidak banyak harapan dari Rosmaida Gurning di usia senjanya. Sebagai seorang ibu dan juga nenek, ia hanya berharap anak-anak dan cucunya semua sehat dan jauh dari penyakit. Di usia yang sekarang berteman dengan lelah, dia berharap pandemi berlalu dan Samosir kembali ramai dikunjungi wisatawan.
Penulis : Jogi S
Editor : Mahadi Sitanggang