Di Indonesia Dikonsumsi Hanya pada Lebaran, Buah Kaya Manfaat Ini Justru Rutin Diekspor ke Filipina dan Vietnam

Simalungun, NINNA.ID-Di balik geliat ekspor kolang-kaling yang kini menembus pasar Filipina dan Vietnam, berdiri dua sosok yang melihat potensi besar dari sesuatu yang selama ini sering dianggap remeh—buah aren muda yang kenyal itu.

Cerita ini dimulai dari Radian Nababan, seorang pria berdarah Batak yang melihat peluang besar dalam limbah perkebunan yang kerap dibuang begitu saja.

Radian mendirikan CV Kolang-Kaling Sekawan, sebuah perusahaan yang fokus mengekspor kolang-kaling ke berbagai negara Asia Tenggara.

Akan tetapi, Radian menyadari satu hal: untuk bisa memenuhi standar dan volume ekspor yang konsisten, ia butuh mitra lokal yang tak hanya andal dalam produksi, tetapi juga paham akar komunitas.

Di sinilah pertemuannya dengan Reno Karno Saragih menjadi titik balik.

Dari Rumah Biasa ke Rumah Produksi

Reno Karno Saragih memulai usaha pengolahan kolang-kaling sejak 2015 dari dapur rumahnya di Simantin, Pematang Sidamanik, Simalungun.

Sebelumnya, ia hanya menjual kolang-kaling ke pengepul, dengan harga pas-pasan dan tak punya kendali atas kualitas maupun distribusi. Namun nasibnya mulai berubah saat ia mendapat akses pada program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Rakyat Indonesia (BRI).

BERSPONSOR

“Awalnya saya ragu, tapi petugas BRI datang langsung ke rumah, sabar menjelaskan. Saya pikir, ini mungkin satu-satunya kesempatan saya,” kenang Reno.

Dengan modal KUR sebesar Rp25 juta, Reno mulai membangun rumah produksi sederhana. Ia tak hanya membeli sendiri bahan baku dari petani sekitar, tapi juga memperbaiki peralatan dan menyewa tenaga bantu.

Ia mencatat semua pemasukan dan pengeluaran dengan teliti—buku kecilnya sudah usang tapi masih jadi pegangan harian.

Kini, setiap minggunya, Reno memasok rata-rata 25 ton kolang-kaling ke CV Kolang-Kaling Sekawan. Dalam bulan Ramadan, volume itu dialihkan ke pasar dalam negeri seperti Kramat Jati dan Pekanbaru.

- Advertisement -

“Kalau kami di sini, minimal 25 ton per minggu yang dikirim keluar. Khusus selama Ramadan, kami alihkan ke pasar dalam negeri seperti Kramat Jati dan Pekan Baru karena ekspor kami jeda sementara. Sebab, permintaan dalam negeri serta harganya naik hampir tiga kali lipat” ujar Reno kepada Ninna pada Rabu 9 April 2025.

GAMBAR KOLANG KALING1
Kolang-Kaling dalam proses pembersihan untuk dikeringkan (foto: istimewa)

Reno bukan sekadar produsen. Ia membangun sistem: merekrut pekerja tetap dan lepas, menjalin jaringan pengumpulan dari berbagai kampung, dan menegakkan standar produksi tanpa bahan pengawet.

Kolang-kaling direndam selama tiga hari untuk menjaga kesegaran secara alami, lalu dikemas dalam plastik rapat. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuat produk mereka di-blacklist di pasar luar negeri.

TERKAIT  Super Air Jet Tawarkan Penerbangan Murah dari Soekarno-Hatta ke Silangit Danau Toba per 15 Oktober

“Kalau pakai pengawet, justru cepat rusak. Negara lain punya standar ketat, apalagi soal bahan makanan,” tegasnya.

Kolang-kaling yang diproduksi Reno bukan hanya dari Simalungun. Ia juga menerima suplai dari Samosir, Garoga Siborong-borong, hingga Padang Sidempuan.

GAMBAR KOLANG KALING di Karung
Kolang-Kaling yang dibersihkan dimasukkan ke dalam goni-goni untuk dimuat di truk (foto: istimewa)

Ia menyebut para pemasok ini sebagai agen kampung, yang rutin mengirim antara 1 hingga 2 ton tergantung musim dan kegiatan pertanian lokal.

Di luar negeri, kolang-kaling dipandang sebagai superfood. Di Filipina dan Vietnam, buah ini rutin dikonsumsi karena manfaatnya bagi tulang, pencernaan, dan rendah kalori. Namun di Indonesia, buah ini masih dipandang sebagai pelengkap manisan musiman, yang hanya muncul saat Lebaran tiba.

“Di Vietnam, mereka makan kolang-kaling tiap hari. Saya juga ikut, sepuluh biji per hari,” kata Radian sambil tersenyum.

Upaya mengedukasi pasar lokal sudah coba dilakukan oleh tim Kolang-Kaling Sekawan—termasuk membuat produk olahan siap saji.

Tapi sambutan belum semeriah harapan. Radian menyadari bahwa edukasi konsumen lokal butuh waktu, dan mungkin juga mitra dengan keahlian baru dalam pengolahan makanan.

Bagi Reno dan Radian, usaha ini bukan hanya soal laba. Ini tentang kemitraan, ketekunan, dan keberanian membangun dari kampung.

Reno berharap bisa mendampingi lebih banyak petani membangun rumah produksi sendiri, selama mereka bersedia mengikuti standar yang sudah ditetapkan.

“Kalau ada yang mau bangun rumah produksi di tempat lain, asal ikut standar kita, kami siap tampung hasilnya,” katanya penuh semangat.

Berkat kolang-kaling, Reno tak hanya memperbaiki kehidupan keluarganya, tapi juga membuka jalan bagi ekonomi kampung. Istrinya kini bisa membantu tanpa lagi resah soal biaya rumah tangga.

Anaknya bisa sekolah dengan tenang. Dan ia sendiri, menemukan makna baru dalam setiap kantong kolang-kaling bening yang siap dijual.

“Ini bukan sekadar kolang-kaling. Ini hasil keringat kami. Dan sekarang, kami percaya, masa depan bisa lebih cerah,” tutup Reno dengan senyum yang hangat.

Perjalanan Kolang-Kaling Sekawan adalah bukti bahwa inovasi tidak selalu dimulai dari teknologi tinggi. Kadang, cukup dengan melihat ulang kekayaan lokal yang selama ini diabaikan.

Kolang-kaling, buah kecil yang dulu kerap terbuang, kini menjadi pembuka jalan menuju mimpi yang lebih besar.

Kini tinggal kita, masyarakat Indonesia, maukah kita ikut menghargai kekayaan ini—sebelum dunia mengambil alih semua potensinya?

Penulis/Editor: Damayanti Sinaga

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU