NINNA.ID -Titik Nol Islam ada di Barus. Itu fakta politik sekaligus fakta sejarah. Setidaknya sampai saat ini. Namun, namanya sejarah, ia selalu berubah. Bukan sejarahnya yang berubah. Yang berubah adalah cara pandang kita. Cara pandang itu berubah karena banyak hal. Ada temuan baru sebagai data arkeologis misalnya. Ada teknologi baru. Macam-macam. Maksud saya, sejarah tak berubah.
Yang berubah adalah cara pandang kita. Mungkin, inilah yang harus mulai berlaku pada cara kita memandang Barus. Dalam tulisan saya di majalah yang dikelola BPNB Aceh tak lama ini, saya menuliskan sebuah amatan sendiri bahwa, ya, Barus itu adalah semacam Titik Nol Semua Agama Impor di Nusantara. Maaf, saya menyebutnya agama impor. Karena memang, itu bukan dari kita.
Nah, saya mengikuti secara virtual paparan Uli Kozok. Mungkin, Anda juga bisa menontonnya di channel SURVEY FIS. Hampir tiga jam video tersebut. Jadi, tulisan ini berangkat dari sana. Ini intisarinya menurut saya. Maksudnya, jika keberatan dengan tulisan ini, siapa tahu saya salah menuliskan, Anda bisa mengeceknya dengan menonton video tersebut.
Ini tentang Nestorian. Nestorian berarti kaum. Ini semacam isme meski bukan identik. Jadi begini. Di kekatolikan itu, ada berbagai macam komunitas spritual. Ada kapusin. Uskup di Keuskupan Agung Medan adalah Kapusin. Mereka memakai nama komunitas di belakang nama pastoral, yaitu OFM Cap. Kebetulan, pada video yang saya tonton itu, hadir juga Pastor Herman Johannes Nainggolan.
Ia juga seorang kapusin. Ia adalah pastor pertama dari gereja kami di Hutapaung, Humbang Hasundutan. Bukan yang pertama sih. Tepatnya: satu-satunya. Saya kian akan menjadi kedua. Tetapi, saya tak “lolos”. Nah, ada juga SJ. SJ singkatan dari serikat jesuit. Bagi kami seminaris dulunya, SJ itu semacam ITB kalau bicara kualitas keilmuan. Mereka orang-orang spritual dan cerdik pandai.
Di Indonesia, kita mengenal Romo Magnis Suseno. Ia seorang jesuit. Paus Fransiskus juga adalah seorang jesuit. Masih banyak untuk disebut. Dan, saya menyebut itu supaya kita tahu sekilas tentang Nestorian dan bagaimana kedudukannya di Katolik. Sebab, pada paparan Uli Kozok, fokus pembahasan adalah Nestorian. Mereka sebuah komunitas di kekatolikan.
Namun, karena cara pandangnya, Nestorian menjadi berbeda dengan komunitas lain. Katolik menyebutnya bidah atau sesat. Walau begitu, tak boleh dibantah, pengaruh nestorian di Kekristenan Timur cukup besar. Dan justru itu, ada seminar ini dengan menghadirkan Uli Kozok. Malah, disebut-sebut, karena Nestorian, Kekristenan tetap hidup di Arab.
Konon katanya, secara historis, Rasulullah SAW menerima Kerajaan Najran masuk dalam kekuasaan Islam di mana beliau sendiri menjamin keselamatan seluruh rakyat Najra. Selain itu, ia juga menjamin keselamatan dan kemerdekaan para pendeta yang mengajarkan agama Kristen Nestorian mereka. Peristiwa itu katanya disebut sebagai “Amandemen I Piagam Madinah”.
Sebab, sebelumnya piagam tersebut hanya mengikat perjanjian dengan kaum Yahudi Madinah. Dalam bacaan saya, konon juga seorang ilmuwan Islam ada yang bernama Syaikh Abu Salih Al-Armini. Ia adalah seorang pakar sejarah termasyhur yang hidup sekitar 1150. Ia menerbitkan daftar 707 Gereja Kristen dan 181 Pertapaan di Mesir, Nubia, Abessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India, dan Indonesia.
Ada yang menarik menurut saya. Abu Salih menguraikan kondisi di Sumatera Utara : “Di Fansur ada beberapa gereja, yang termasuk kelompok Kristen Nestorian. Dari situ (Fansur-Pen) dihasilkan ‘Kamfer Barus’, suatu zat yang menetes dari pohon-pohon.
Di kota itu berdiri gereja, yang ditandai dengan nama Perawan Maria Tak Bernoda.” Tahun didirikannya gereja itu diperkirakan pada 645 M.
Nah, dalam tanggapannya, Ichwan Azhari mengatakan bahwa komunitas Kristen lebih dahulu ada daripada Islam. Kata Ichwan, penilaian itu sebagai tafsir atas eskavasi arkeollgis di situs Bongal. Sangat menarik membahasnya, apalagi jika kita meramunya dengan fakta lain. Sebab, selama ini, kita selalu mengatakan bahwa Barus adalah Titik Nol Islam Nusantara.
Penulis : Riduan Peberiadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang