Medan, NINNA.ID– Lahan hijau yang dulu membentang luas sebagai areal perkebunan negara kini menjelma menjadi kompleks perumahan elite, lengkap dengan ruko bernilai miliaran rupiah.
Di balik gemerlap pembangunan itu, tersimpan cerita kelam yang kini tengah mencuat ke permukaan: dugaan pelanggaran hukum dan praktik korupsi oleh salah satu raksasa BUMN agraria, PTPN.
Sejumlah aktivis di Sumatera Utara menyuarakan apresiasi sekaligus harapan besar kepada Komisi VI DPR RI yang baru-baru ini berani membongkar praktik menyimpang PTPN, bukan hanya di Puncak, Bogor.
Tetapi juga mendorong agar turun langsung ke Sumut – tempat ratusan hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU) diduga telah disulap menjadi perumahan mewah melalui cara-cara yang melanggar konstitusi agraria.
“Ini bukan hanya soal penyalahgunaan aset negara, tapi tentang pengkhianatan terhadap fungsi sosial tanah dan penderitaan rakyat yang digusur tanpa ganti rugi,” tegas Saharuddin, Koordinator Gerakan Rakyat Berantas Korupsi (Gerbrak) Sumut.

Citra Land Gama City dan Jejak Raksasa Properti
Yang jadi sorotan adalah kolaborasi PTPN melalui anak usahanya, PT Nusantara Dua Propertindo (NDP), dengan perusahaan properti raksasa PT Ciputra Development Tbk.
Kerja sama ini telah melahirkan kawasan-kawasan elite seperti Citra Land Gama City, Jewel Garden, Citraland City Sampali, hingga Citraland Helvetia.
Ribuan unit ruko dan hunian kelas atas telah berdiri di atas tanah yang seharusnya diperuntukkan untuk perkebunan.
Harga satu unit properti di kawasan ini? Tak main-main — mulai dari Rp2 miliar hingga Rp7 miliar. Sementara di sisi lain, warga yang telah puluhan tahun tinggal dan bertani di lahan itu digusur secara paksa, tanpa kepastian hukum dan tanpa ganti rugi yang layak.
“Apa yang dilakukan PTPN adalah pelanggaran berat terhadap UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. HGU itu bukan untuk dijual atau disewakan apalagi dibangun perumahan,” tegas Abyadi Siregar, Direktur MATA Pelayanan Publik.
Skema Bisnis Abu-Abu dan HGU yang Telantar
Menurut Abyadi, secara hukum, lahan HGU yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan bisa dicabut. Bahkan berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2021, jika pemegang HGU tidak memenuhi kewajiban dan melanggar larangan, maka haknya dapat dibatalkan oleh menteri.
Ironisnya, PTPN tak hanya menelantarkan tanah HGU, tapi juga justru mengalihfungsikannya menjadi kawasan properti dan menyerahkannya kepada pihak ketiga.
“Ini pelanggaran terang-terangan yang mengindikasikan praktik korupsi dan keterlibatan mafia tanah,” kata Indra Minka, Ketua Lembaga Konservasi Lingkungan Hidup (LKLH) Sumut.
Dari Bogor ke Sumut: Pola yang Sama, Skandal yang Lebih Besar
Komisi VI DPR RI melalui Rieke Diah Pitaloka sebelumnya telah mengungkap, dari lebih dari 1.600 hektare HGU PTPN di Bogor, hampir 500 hektare telah disewakan ke pihak ketiga dan diubah menjadi vila, pusat rekreasi, hingga restoran. Hal serupa terjadi di Sumut, bahkan dalam skala yang lebih besar dan brutal.
“Ini bukan lagi soal penyimpangan, tapi kejahatan terorganisir yang merugikan negara dan rakyat,” tambah Ratama Saragih dari LIRA Kota Tebingtinggi.
Para aktivis berharap, Komisi VI DPR RI segera menurunkan tim investigasi ke Sumatera Utara, menggandeng KPK dan Kementerian ATR/BPN untuk membongkar skandal yang diduga melibatkan pejabat tinggi dan aktor swasta dalam lingkaran mafia tanah.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga