Danau Toba: Dulu vs Sekarang

NINNA.ID – Sudah lama kudengar Danau Toba. Itu waktu belum sekolah. Namun, baru bisa melihatnya sewaktu kelas 5 SD. Ceritanya kami ada acara adat di Medan. Itu kali pertama aku melihat Danau Toba. Secara langsung dari dekat. Sebelumnya dari jauh. Jauh sekali.

Kami harus memanjat gunung. Kira-kira 6 kilometer dari kampung. Puncaknya masih jauh. Belum ada jalan. Kami melewati belukar. Masih terlalu hati-hati. Terkadang malah takut. Sebab, dulunya gunung ini sangat angker. Namanya Dolok Na Bolon.

Di Dolok Na Bolon ini, katanya banyak homang. Banyak orang hilang. Jadi, kami harus ramai-ramai. Naik ke atas. Lalu melihat Danau Toba. Jauh sekali. Terkadang malah tertutup awan tipis. Tetapi, kami sudah senang. Kami puas. Setelah itu, kami turun lagi.

Nah, sewaktu SD, kelas 5, kami pergi ke Medan. Lewat jalur Siantar. Berangkat pukul 8 pagi, sampai pukul 7 sore. Aku dan adik puas melihat Danau Toba. Kalau kuingat, kami sampai berlarian di bus.

BERSPONSOR

“Wah. Bagak nai.” Itulah secara langsung. Dekat tapi sekadar lewat.

Lalu, sewaktu SMA, saya 4 kali langsung menyentuh Danau Toba. Di Ajibata. Di Samosir. Di Sipolha. Dan Tigaras. Kami mandi di sana. Minum air danau secara langsung. Tentu sambil berenang. Kulit tidak gatal. Dahaga terpuaskan. Perut tidak sakit.

Saya juga melihat. Orang-orang sekitar mandi di sana. Mereka beraktivitas. Mencuci. Mengambil air. Kata mereka, mereka hidup dari air itu. Mereka meminum air itu. Tapi, itu dulu. Sekarang ini, terjadi hal yang aneh. Danau itu konon katanya sudah tercemar.

TERKAIT  Proyek Miliaran di Samosir Ramai Disorot, Ayah Bupati Gerah

Beberapa tragedi alam terjadi. Di Bakara, ikan mati massal, sebanyak 249,6 ton karena kotornya danau. Dampaknya, air danau yang sempat kelihatan biru pun mendadak keruh. Wisatawan lantas berkurang karena tak tahan pada bau yang menyengat (Kompas, 13/1/2017).

BERSPONSOR

Itu karena keserakahan. Sebab, satu kotak keramba ukuran 3×4 meter diisi lebih dari 5.000 benih. Ada yang sampai 15.000. Padahal, diperkirakan di Bakara ada setidaknya 300 kotak keramba. Bisa dibayangkan berapa jumlah ikan di sana.

Bisa pula dibayangkan berapa banyak pakan ikan dijatuhkan. Jarak antar keramba yang mestinya 50 meter dibuat malah berdempetan. Keramba juga dibuat di bibir pantai, padahal seharusnya diletakkan paling tidak 200 meter dari bibir pantai. Ini masih di desa Bakara.

Di tempat lain juga begitu. Tapi, mereka cuma mau ikan. Kotoran tak dibersihkan. Sampahnya dibiarkan, eceng gondok: oh itu tugas pemerintah. Padahal, andai tak ada keramba serakah, mana begitu? Begitu juga dengan pohon endemik. Dieksploitasi.

Karena itu, air Danau makin keruh. Oleh sedikit orang yang serakah, menderita banyak orang. Kata Kepala DLH Provinsi Sumatera Utara, Binsar Situmorang, butuh waktu sampai 70 tahun untuk bisa mengembalikan kualitas air Danau Toba karena sudah tercemari.

- Advertisement -

Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU