Parapat, NINNA.ID-Di pagi yang tenang di Parapat, ketika kabut masih menggantung rendah di atas permukaan Danau Toba, seorang pria paruh baya melangkah mantap menuju keramba apungnya. Namanya Marno Bakkara.
Bagi warga sekitar, ia bukan hanya Kepala Desa, tapi juga simbol ketekunan dan harapan. Dua puluh tahun lalu, Marno hanya memiliki Rp5 juta dan keyakinan kuat bahwa air danau ini bisa menjadi sumber kehidupan baru.
Sekarang, ia memanen dua ton ikan setiap minggu—sebuah pencapaian yang tumbuh dari tangan kosong dan niat tak tergoyahkan.

Parapat pernah bergantung penuh pada tangkapan ikan liar dari Danau Toba. Tapi perubahan ekosistem membuat hasil tangkapan terus menurun.
Ketika dapur mulai seret, sebagian orang memilih merantau. Marno memilih bertahan. Ia melihat harapan dari keramba-keramba jaring apung yang mulai bermunculan di sekitar danau.
Namun inspirasi saja tidak cukup. Modal adalah tembok pertama yang harus ia panjat. Melalui petugas BRI Parapat, Marno mengenal program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Di tahun 2003, ia memberanikan diri mengambil pinjaman pertama: Rp5 juta. Ia menebar benih sendiri, memberi pakan sendiri, dan menyelam sendiri membersihkan keramba. Segala upaya ia kerjakan dengan satu tujuan—membangun masa depan.
Sabtu Demi Sabtu
Waktu berlalu, dan kerja keras itu mulai berbuah. Setiap Sabtu pagi, keramba milik Marno berubah menjadi ladang panen. Dua ton ikan nila, lele, dan mas diangkat dari jaring.
Omzetnya kini mencapai Rp52 juta per minggu. Namun, kesuksesan itu tidak membuatnya menjauh. Marno masih turun ke keramba, bersama tiga pekerja lepas dari desa.
“Kalau tidak kita jaga sendiri, siapa lagi?” katanya sambil tersenyum lelah saat membagikan kisah usahanya kepada NINNA di Desa Sibaganding pada Sabtu 19 April 2025.
Ia tidak hanya membangun usaha, tapi juga membuka jalan bagi orang lain. “Upah pekerja dihitung per kilo. Kalau panen banyak, mereka senang. Saya pun senang,” ujar Marno, bangga.
Para pekerja bersama Marno adalah pemuda setempat. Biasanya mereka mulai bekerja pukul 3 pagi hingga pukul 7 pagi. Mereka mengakui usaha keramba milik Marno salah satu pendapatan sampingan mereka di samping bertani.
“Saya senanglah ada Kepala Desa sekaligus pengusaha yang buka mata pencaharian buat kami masyarakat di sini,” jelas pria marga Sinaga yang merupakan salah satu dari beberapa pekerja lepas yang pernah bekerja bersama Marno.
Danau Toba bukan hanya kolam besar bagi ikan-ikan Marno. Kualitas airnya, yang kaya oksigen dan mengalir stabil, menjadi faktor utama keberhasilan budidaya. Tapi Marno sadar, keberkahan alam ini bukan untuk dieksploitasi.
Ia dan petani lain belajar untuk memberi pakan secukupnya, menjaga keseimbangan agar danau tetap hidup. Dalam usaha ini, mereka tidak serakah. Mereka ingin danau ini tetap bisa menghidupi anak cucu mereka kelak.
Ia tergabung dalam kelompok tani, menerima penyuluhan dari Dinas Perikanan tingkat kabupaten dan provinsi. Ikan hasil panen mereka diserap pasar lokal dan sebagian dikirim ke luar daerah.
Masyarakat mulai percaya, bahwa ikan budidaya bisa lebih segar dan lebih terjamin mutunya.
KUR, dan Jalan Menuju Impian
Tahun 2022, Marno kembali memanfaatkan KUR—kali ini Rp100 juta—untuk memperluas kerambanya. Tapi menariknya, hingga kini itulah satu-satunya dukungan resmi yang ia terima.
“Sampai sekarang belum ada bantuan dari dinas, walaupun saya sudah jadi kepala desa,” ucapnya datar.
Meski begitu, nada suaranya berubah ketika bicara soal masa depan. Ia bermimpi memperluas usaha, menjaga kualitas air danau, dan membuka lebih banyak lapangan kerja.
Ia percaya, kalau satu orang bisa tumbuh dari Rp5 juta menjadi pengusaha ikan dengan omzet puluhan juta, maka yang lain pun bisa.
Kepala Unit BRI Parapat Toni Naibaho mengakui kegigihan Marno sebagai pengusaha yang tekun dengan usahanya.
“Seingat saya salah satu pengusaha keramba ikan di Parapat itu Kepala Desa Sibaganding. Usahanya sudah cukup lama memanfaatkan KUR,” jelas Toni Naibaho yang mengawali perkenalanan NINNA kepada Marno Bakkara.

Kisah Marno adalah cerita tentang manusia dan alam yang saling menjaga. Tentang seorang kepala keluarga yang ingin makan malam tanpa cemas soal esok, dan seorang kepala desa yang ingin warganya tidak sekadar bertahan, tapi berkembang. Ia tidak membangun istana, tapi ia membangun peluang.
Di balik angka-angka dan laporan keuangan, ada kerja sunyi dari subuh hingga senja. Ada tangan-tangan kasar yang mengangkat jaring, menyortir ikan, dan memuat hasil panen ke perahu. Dari danau, untuk masa depan.
Danau Toba bukan hanya tempat wisata. Bagi mereka yang tinggal di sekitarnya, danau ini adalah kehidupan. Dan Marno Bakkara adalah salah satu penjaganya—dengan mimpi sederhana, tangan cekatan, dan hati yang penuh syukur.
Penulis/Editor: Damayanti Sinaga