Cerita Parhaminjon (5)

BERSPONSOR

NINNA.IDHaminjon makin punah? Pertanyaan ini tidak berdasar. Tentu, kalau dalam arti benar-benar habis dan tak bersisa. Namun, jika maksudnya tentang haminjon makin diabaikan, maka tentu saja jawabannya adalah: ya. Pertama, dari segi masyarakat sendiri. Mulai banyak parhaminjon tidak peduli pada haminjonnya.

Rupanya, tawaran perkebunan tanaman muda mulai menjanjikan. Meski harga tidak selalu stabil, parhaminjon mulai mencari peruntungan menanam tomat, cabai, dan berbagai tanaman sayuran lainnya. Begitulah sepertinya pakemnya. Memilih yang satu selalu identik dengan mengabaikan, bahkan meninggalkan yang lain. Seperti haminjon.

Pilihan meninggalkan haminjon tak bisa dilepaskan dari kekurangpedulian pemerintah.

Bertani tanaman muda hampir selalu didukung pemerintah. Ada pemberian bibit. Subsidi pupuk. Bahkan, pemodalan. Tetapi, petani haminjon nyaris tak mendapat bantuan apa-apa. Maka, masyarakat seperti membaca: rupanya bertani merawat kemenyan tidak diperhatikan, apalagi diprioritaskan pemerintah.

Kekurangpedulian lain adalah ketika parhaminjon seperti tidak didampingi. Lumayan sering terdengar kekisruhan antara korporat dan parhaminjon. Ada perselisihan tanah. Kedudukan tanah hutan masyarakat seperti dipertanyakan. Kepemilikan hak konsesi seperti mengalahkan kepemilikan tradisi. Seakan negara terlebih dahulu ada daripada tradisi.

BERSPONSOR

Padahal, negara hadir belakangan. Karena itu, tak sewajarnya hak konsesi dibuat menakut-nakuti, apalagi menggusur hutan tradisi. Tradisi bukan tak menghargai negara. Tak semua lahan milik tradisi. Tetapi, yang mesti tak bisa dilupakan, negara harus menghormati lahan milik tradisi, dalam hal ini hutan tradisi.

Jadi, jika korporat berseteru dengan pemilik hutan kemenyan, negara mestinya di pihak petani. Soal hukum negara, tentu negara menang. Sebab, yang dipakai hukum negara. Tapi, coba yang dipakai hukum tradisi. Begitulah yang terjadi. Korporat sangat piawai mengatasnamakan hukum negara untuk memberi manuver.

Warga masih melawan. Tapi, seberapa lama mereka bertahan? Sebab, pada praktiknya, korporat tidak hanya melawan dengan ancaman, tetapi juga kadang dengan tawaran. Kepada parhaminjon ditawarkan ini itu, karena belitan ekonomi dan atas dasar kekurangtahuan dan pengalaman, mereka mau. Pada akhirnya, mereka tergadai.

TERKAIT  Mandailing itu Bukan Batak

Ini yang terjadi di Panduman, Pollung, Humbang Hasundutan. Malah, pada akhir tahun lalu, ada hutan haminjon milik warga seperti diserobot. Ada perlawanan warga. Berhenti. Tetapi, berhenti bagi warga tak selalu berhenti bagi korporat. Berhenti bagi korporat kadang justru mencari taktik baru. Itulah sebabnya, parhaminjon mulai alih usaha.

BERSPONSOR

Hampir tak ada yang mendukung mereka jika bertemu dengan hukum. Hampir tak ada bantuan bagi mereka soal subsidi peralatan ini-itu. Kini memang, desa-desa setempat tampil cekatan. Jalan mulai dibuat. Tonggak listrik mulai dipasang. Namun, di atas itu, yang dilakukan pemerintah masih jauh dari kadar kurang. Hampir mengatakan: tidak ada.

Untunglah warga parhaminjon masih punya semangat. Selama hampir 3 tahun ini, parhaminjon dari Desa Hutapaung dan Desa Hutajulu di Pollung, Humbang Hasundutan, mengadakan gotong royong mingguan. Mereka membuat jalan setapak. Tak ada batu. Negara masih terlihat enggan bahkan sebatas memberi material.

Karena itu, warga parhaminjon memotong pohon. Membuatnya jadi pengganti batu. Dari sana, dengan keterampilan dan pengalaman, mereka mengendarai sepeda motor. Waktu mulai terpotong. Mereka tak berjalan setengah harian. Mereka bahkan sudah bisa pulang pergi marhaminjon. Tidak lagi seperti sedia kala: sekali seminggu.

Tetapi, ya, ini semua berkat kegigihan dan nilai gotong royong parhaminjon. Andai negara mendukung, ini tidak persoalan sulit. Buka jalan, berikan listrik, bahkan mungkin bedah gubuk, maka parhaminjon akan kembali semangat. Sebab, bertani haminjon hanya butuh keuletan. Nyaris tak ada modal sama sekali. Malah cenderung untung.

- Advertisement -

Semestinya, ini bukan pekerjaan berat. Justru ini seperti napak tilas. Sebab, sebelum Yesus lahir, konon Haminjon di daerah Humbang saat ini sudah menjadi buruan musafir dan niagawan dari Persia dan Mesir. Artinya, suatu masa, kemenyan termasuk pencetak sejarah. Paling tidak, turut berkontribusi membuat titik nol Islam Nusantara di Barus.

 

Penulis    : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor       : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU