NINNA.ID – Bagi orang Batak, apakah haminjon (kemenyan) sakral? Pertanyaan itu agak sukar dijawab. Apalagi, sejauh pelacakan saya, terkhusus daerah Humbang, agaknya tak ada literatur tua tentang kemenyan. Kata-kata kemenyan bahkan nyaris tak ada dalam perumpamaan atau umpasa kita. Maka, wajar kita bertanya, apakah haminjon sakral bagi orang Batak?
Entah bagaimana caranya orang Batak membudidayakan haminjon. Apakah sejak belum ada permintaan pasar, orang Batak sudah membudidayakan haminjon? Rasanya tidak. Sebab, haminjon bukan seperti padi yang bisa digunakan sebagai bahan makanan pokok. Artinya, pada masa sebelum teknologi menemukan manfaat lain dari kemenyan, budidaya haminjon pasti seadanya saja.
Saya punya pengalaman yang termasuk intim dengan haminjon. Boleh dibilang, biaya pendidikan kami adalah dari haminjon. Sebab, budidaya haminjon itu menguntungkan. Nyaris tak ada modal. Tak perlu dipupuk. Tak ada pestisida. Modalnya cukup tenaga dan peralatan, seperti tali, pisau besar dan pisau kecil, serta alat pembersih. Alat ini bisa dipakai lebih dari setahun.
Karena itulah orang Batak di Humbang Hasundutan umumnya membudidayakan haminjon. Tak ada perkebunan atau pertanian dengan modal murah, padahal hasil tidak murahan. Sebab, harga sekilogram haminjon berada pada kisaran Rp250-350 ribu. Harganya termasuk stabil. Tak ada kenaikan atau penurunan signifikan.
Jika dikelola dengan penyulingan, sangat mungkin sekilo kemenyan malah Rp2 jutaan.
Namun, membudidayakan haminjon termasuk rumit. Kita sadap hari ini, maka panennya paling cepat 4 bulan kemudian. Menyadapnya tak mudah. Memanennya apalagi. Sawit tidak harus dipanjat. Karet cukup dari batang pohon. Haminjon tidak. Parhaminjon harus memanjat dan berkeliling di sekujur tubuh pohon haminjon. Jangan dikira bahwa ini hanya memanjat biasa tanpa beban.
Parhaminjon memanjat dengan bawa bakul. Lalu, getahnya diambil dari perlukaan sadapan empat bulan lalu. Getah itu menempel di mana-mana, terutama ke baju kita. Jadi, tak jarang parhaminjon kesusahan melepaskan kakinya atau badannya yang menempel ke batang haminjon. Apalagi jika getah itu masih belum kering betul. Susahnya luar biasa.
Sangat sering, karena keuangan sudah menjepit, parhaminjon langsung mengambil getah yang belum cukup umur. Tentu, selain susah mengambilnya, harganya juga jadi berkurang. Berkurang karena kualitasnya menurun. Nah, setelah getah diambil, tugas panen belum selesai. Pekerjaan masih sangat banyak. Biasanya parhaminjon akan lembur sampai larut malam.
Saya betul-betul mengalami semua ini. Kami bahkan pernah menginap 2 Minggu di hutan tanpa pulang. Gubuk sangat kecil. Biasanya 2×4 meter. Itu sudah standar. Masih banyak yang lebih kecil dari situ. Gubuk sekecil itu dicukupkan untuk banyak perkakas. Kadang, gubuk sekecil itu untuk 3 orang dari sesama tetangga di ladang.
Memang, karena hutan sepi, tak jarang parhaminjon saling mengunjungi. Bekal mereka bawa atau bagi rata. Beban untuk logistik dikerjakan bersama. Ada yang mengambil kayu. Ada yang mengambil air. Ada yang memasak. Semua mengalir begitu saja. Sejauh pengalaman saya, semua parhaminjon tahu diri untuk mengambil pekerjaan.
Dari sana saya sadar bahwa kaum laki-laki Batak pada dasarnya bukan pemalas. Toh, selama di hutan, mereka membereskan semua pekerjaan. Lelaki Batak juga lelaki gigih yang bisa hidup pada kondisi apa pun. Bisa dibayangkan gubuk sebesar 2×4 meter. Gubuk itu berisi semua alat logistik, hasil panen, kayu bakar, peralatan makan, sekaligus tempat tidur.
Mengambil air di hutan juga perkara yang tak gampang. Beberapa kali saya berpindah gubuk, rata-rata airnya lumayan jauh. Jauh karena harus di sungai. Sungai biasanya berada di lembah. Sementara gubuk berada di ketinggian. Jangan dibayangkan bahwa jalan mengambil air cukup mulus. Sama sekali tidak. Jalanan sangat curam.
Ada banyak akar pohon. Tersandung bisa membuat jatuh. Apalagi kalau cuaca lembab, akar pohon akan licin. Tanah pun basah, becek, juga licin. Saya sendiri pernah terjatuh saat membawa air di jeriken. Sebab, mendaki bukit dengan jeriken di bahu, juga jalanan yang licin dan curam, serta ranting-ranting semak akan menjadi kesulitan tersendiri.
Oh, iya. Ini tentang air di sana. Jangan pernah membayangkan airnya bening. Dari pengalaman saya, semua airnya coklat. Mungkin karena masih bercampur dengan humus hutan. Namun, air itu sehat. Arti sehat bukan karena diperiksa di laboratorium. Arti sehat, ya, karena semua parhaminjon tidak keracunan saat minum dan makan di sana. (Penasaran kehidupan parhaminjon lainnya, nantikan Cerita Parhaminjon selanjutnya Senin 31 Januari 2022)
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang