Bukan Hamoraon Hagabeon Hasangapon, Mungkin Inilah Tujuan Hidup Orang Batak

NINNA.ID – Banyak dari kita orang Batak yang beranggapan tujuan hidup kita adalah untuk mencapai Hamoraon, Hagabeon dan Hasangapon. Termasuk saya.

Bahkan lagu Batak legendaris berjudul “Alusi Au” karya Nahum Situmorang menyinggungnya sedikit:

“Marragam-ragam do anggo sinta-sinta di hita manisia.
Marasing-asing do anggo pangidoan di ganup-ganup jolma.
Hamoraon, hagabeon, hasangapon ido dilului ne deba.”

Begitu cuplikan liriknya.

Sebenarnya bukan hanya orang Batak saja, semua manusia mengharapkan hamoraon – hagabeon – hasangapon. Itu sangat manusiawi.

Dengan semakin sering mengikuti peradatan, pemahaman saya tentang adat Batak turut berubah.

Di titik ini saya mengusulkan sebuah hipotesa bahwa vita perfectum (kesempurnaan hidup) orang Batak sejatinya adalah maradat (menunaikan adat).

Untuk mencapai kesempurnaan itu, dibutuhkan trias paso (tiga tangga) yang disebut hamoraon, hagabeon dan hasangapon.

BERSPONSOR

Tangga Pertama, Hamoraon
Hamoraon secara materil (sibahenon) maupun roha. Hamoraon materil melambangkan kesiapan ekonomis. Hamoraon marroha melambangkan kesiapan menyelenggarakan adat sesuai aturan.

Keduanya saling mendukung dan dibutuhkan untuk mencapai tangga kedua, hagabeon. Tanpa dukungan hamoraon materil, seseorang yang belum bisa menyelenggarakan adat penuh. Belum bisa menerima hak penuhnya.

Tanpa hamoraon marroha, seseorang yang mampu menyelenggarakan adat penuh belum tentu mau menjalankan kewajiban penuh yang sepatutnya dijalankan setelah pernikahan.

Tangga Kedua, Hagabeon
Hagabeon hanya terwujud setelah seseorang menikah. Setelah pernikahan dikaruniai setidaknya satu anak laki-laki dan perempuan, keluarga tersebut dianggap sudah gabe (memiliki bobot, bebet dan bibit yang jelas).

- Advertisement -

Dasar penyebutan gabe dikarenakan tanpa adanya anak laki-laki, seseorang tidak bisa Pangolihon Anak dan Pamulihon Boru.

Tanpa Pangolihon Anak, seseorang belum bisa menyandang peran Pamoruon.

Tanpa Pamulihon Boru, seseorang belum bisa menyandang peran Hula-hula.

Artinya, seseorang yang belum gabe, tidak punya jalan atau dasar yang sempurna untuk menjalankan Dalihan Natolu meskipun ia bisa mangihut atau menumpang pada Dongan Tubunya (saudaranya semarga).

Inilah dasarnya mengapa begitu penting bagi orang Batak memiliki anak laki-laki dan perempuan.

TERKAIT  Roh – Pancaran Jiwa Dalam Diri Orang Batak Toba (XI)

Tangga Ketiga, Hasangapon
Jika tangga kedua, Hagabeon terpenuhi, maka secara otomatis seseorang tersebut dianggap sudah sangap sebagai orang tua dalam tradisi Batak.

Dalam pelaksanaan adat, Orang Batak terbagi dua, yaitu yang belum menikah dan yang sudah menikah.

Status pernikahan memiliki pengaruh signifikan bagi setiap individu dalam adat Batak.

Bukan merendahkan yang belum menikah, bagi orang Batak, setiap orang yang sudah dewasa didorong untuk segera menikah.

Karena melalui status pernikahanlah seseorang bisa menerima hak adat dan menduduki peran penting seperti mangulosi serta memimpin.

Itulah Hasangapon atau kesempurnaan hidup secara adat Batak yang menjadi impian tertinggi setiap orang Batak yang beradat.

Tidak bisa disangkal, meskipun secara moral kita sering memperhalusnya, faktanya adalah, seseorang yang mamora secara materi, mamora di roha dan gabe maranak marboru, itulah yang dianggap orang yang sangap.

Diakui atau tidak, seseorang yang masih berkekurangan secara materi, belum memahami adat dan belum memiliki keturunan (anak dan boru), cenderung disandera oleh rasa malu dan minder.

Terlepas dari karismanya, kondisi aktual seseorang menentukan kedudukannya dalam adat Batak.

Artinya, kedudukan seseorang dalam adat Batak itu dinamis, dengan kata lain, sangat rentan. Namun di situlah letak keindahan dan keanggunan adat Batak.

Sewaktu masih muda dan belum menikah, seseorang bisa saja tidak begitu memperhatikan adat. Namun ketika mereka dewasa dan menikah, adat akan mengikat mereka sebagai pelaku adat itu sendiri. Hingga pada akhirnya ia menjadi agensi (penerus) adat itu sendiri.

Begitu pentingnya adat, hingga seseorang rela menghabiskan setengah dari pendapatannya untuk menjalankan adatnya.

Itu sebabnya ada istilah orang Batak, “satonga ni pancarian habis untuk adat, bahkan kadang lebih dari setengah.”

Bagi orang Batak normal, ia lebih malu dinilai tidak beradat daripada tidak berharta. Selama masih tinggal dalam lingkungan beradat, sistem akan melahirkan individu yang begitu.

Penulis : Gomgom Lumbantoruan
Editor   : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU