NINNA.ID – Cerita masa kecil yang tak kalah seru di samping marmahan horbo itu saat marsiadapari menanam atau memanen padi.
Marsiadapari atau gotongroyong, berasal dari kata mar-sialap-ari yang artinya kita berikan dulu tenaga dan bantuan kita kepada orang lain. Kelak, kita pun bisa meminta bantuan mereka.
Sama seperti kebudayaan suku lain di Indonesia, suku Batak Toba sangat peduli satu sama lain.
Khususnya pada zaman dulu, rasa persaudaraan itu sangat bisa kita rasakan. Jika ada kegiatan menanam atau memanen padi, orang-orang di kampung akan kompak bekerjasama.
Biasanya memasuki periode menanam padi, orang tua di kampung akan membahas jadwal Marsiadipari.
Misalnya pekerjaan diprediksi bisa tuntas dalam dua minggu maka disusunlah jadwal.
Di sawah siapa hari Senin, di sawah siapa hari Selasa dan selanjutnya.
20 tahun silam, kegiatan marsiadapari inilah salah satu faktor penunjang masyarakat di kampung mengerjakan lahannya.
Sebab, dengan adanya tenaga sukarela atau budaya bergotongroyong, lahan seluas 10 rante bisa tuntas dikerjakan dalam waktu sehari.
Bermodalkan kemurahan hati tetangga atau dalam Bahasa Batak disebut dongan sahuta, pekerjaan yang berat dapat dikerjakan lebih ringan dan cepat tuntas.
Biasanya, pemilik sawah menjamu para pekerja yang marsiadapari dengan makanan dan minuman.
Mulai dari menyediakan kopi, teh manis, lapet atau kue ketawa, mie dan makanan lain yang bisa dijadikan sarapan.
Menu makan siang biasanya akan dibuat sangat spesial demi menghargai kerja keras para dongan sahuta yang bekerja.
Biasanya dongan sahuta akan meminta kepada pemilik sawah untuk menyediakan menu mereka sukai. Si pemilik sawah pun berupaya memenuhi permintaan ini.
Di malam hari kadang kala pemilik sawah menyediakan makan malam.
Biasa disertai dengan memanggang ikan mujahir atau ayam kampung bersama sambil menikmati tuak.
Tidak ada istilah digaji atau diberi upah bagi mereka yang sudah bekerja keras.
Karena semuanya dikerjakan secara sukarela, bergotongroyong.
Kegiatan ini bergilir hingga semua warga di kampung merasakan bantuan yang diberikan satu sama lain.
Ini salah satu kegiatan seru semasa kecil karena kami dapat jatah menu bervariasi selama berminggu-minggu marsiadapari.
Sudah pasti menunya enak, beda dengan hari biasa.
Seru rasanya bisa kumpul bersama. Momen paling kusukai yakni saat kami istirahat atau dalam Bahasa Batak Toba disebut maradi.
Kami makan lapet, minum kopi atau teh.
Saat itu biasanya ada cerita lucu yang akan dibagikan oleh salah satu dari kami untuk meramaikan suasana.
Biasanya kami tertawa terbahak-bahak jika ada lelucon yang menggelikan.
Hingga kini aku masih ingat sejumlah nama penduduk di Kampung Ulos Hutaraja Lumban Suhi-Suhi yang ikut marsiadapari.
Aku masih mengenali wajah mereka meski sudah lebih dari 20 tahun silam berlalu.
Ingat cerita-cerita lucu yang buatku terbahak-bahak. Ingat sawah-sawah yang kami kerjakan bersama dan hal menarik lainnya.
Manangkap Gaji
Entah tahun berapa Budaya Marsiadapari mulai lekang dan bergeser ke manangkap gaji.
Saat aku tinggal di Girsang Sipanganbolon pada 2019, aku sering mendengar istilah menangkap gaji.
Awalnya aku bingung dengan istilah manangkap gaji.
Ada istilah mangalap gaji atau gaji-gajian.
Ketika mendengar kata manangkap gaji aku langsung bertanya kepada kawan di Girsang mengapa disebut manangkap gaji.
Seolah-olah gaji itu bisa ditangkap. Tapi kawanku itu tidak bisa memberikan penjelasan.
Katanya, istilah itu sudah populer di kalangan suku Batak Toba di Simalungun dan Toba.
Bagiku, di tahun 2019 untuk pertama kalinya aku mendengar istilah itu.
Pola manangkap gaji dengan marsiadapari memiliki sejumlah kesamaan.
Masih ada unsur bekerjasama di dalamnya.
Perbedaannya, pola manangkap gaji mengharuskan pemilik sawah membayar upah kepada para pekerja.
Ada patokan upah yang harus dibayarkan pemberi kerja kepada para pekerja.
Pemberi kerja kadang kala menyediakan makanan dan minuman. Kadang kala orang-orang yang manangkap gaji harus membawa bekalnya sendiri.
Sudah tentu, lekangnya budaya marsiadapari memengaruhi semangat persaudaraan orang-orang di kampung.
Dulu, bukan hanya pada saat menanam atau memanen padi, memperbaiki jalan, mengalirkan air ke sawah pun dilakukan secara gotongroyong sukarela tanpa digaji.
Kini, selain budaya marsiadapari digantikan dengan manangkap gaji, mesin-mesin pun telah mengubah gaya hidup petani di Kawasan Danau Toba.
20 tahun silam, kerbau-kerbau dimanfaatkan tenaganya guna membajak sawah. Dalam Bahasa Batak disebut maninggala.
Sekarang, tenaga mesin berupa jetor menggantikan tenaga kerbau dan manusia.
Para petani harus mempunyai keterampilan untuk menjalankan dan memelihara mesin-mesin yang canggih.
Semakin banyak pula petani yang bekerja sendirian.
Sudah sangat jarang ditemukan gotong-royong di kampung ketika menanam, mencangkul, dan memanen secara sukarela tanpa digaji.
Penulis : Damayanti Sinaga
Editor    : Damayanti Sinaga