NINNA.ID – Acara Mandungo Dungoi ini kerap kali masih tetap dilakukan di daerah Sianjur Mulamula dan beberapa daerah lainnya di Samosir. Mandungo dungoi ini adalah sebuah adat budaya suku Batak ketika orang tua meninggal dunia.
Ketentuannya, jika yang meninggal dunia seorang laki laki, maka yang melaksanakan adat pandungoi adalah Puteri Si Akkangan (puteri paling tua) dan jika yang meninggal dunia adalah seorang perempuan maka yang melaksanakan adat Partohon Pandungoi adalah puteri Si Ampudan (putri yang paling bungsu).
Nah, mari kita telisik sedikit tentang tata cara adat Pandungoi ini. Pada malam terakhir sebelum seseorang yang meninggal tadi dikebumikan, sekitàr pukul 19.00 WIB, rombongan Si Partohon akan datang ke rumah membawa makanan sesuai dengan adat Batak Toba yang lengkap dengan namargoar.
Tentu mereka akan disambut oleh para Hasuhuton dan menanyakan kedatangan mereka, yang kemudian akan dijawab oleh pihak Parhata dari Si pandungoi dengan: “Adapun kedatangan mereka adalah untuk memenuhi adat seperti yang sudah diwarisan para leluhur. Ketika ayah yang meninggal dunia, maka puteri yang paling tualah Si Partohon, dan jika ibu yang meninggal dunia maka puteri yang paling bungsulah yang menjadi Si Partohon.
Setelah selesai acara makan malam bersama dengan pihak keluarga dan para tamu undangan yang datang, kemudian para orangtua dan penetua adat yang ada di sana pun akan mendiskusikan hal-hal apa saja yang sepatutnya diberikan oleh pihak hasuhuton kepada boru Si Partohon sesuai Budaya Batak.
Biasanya memang Si Partohon nanti akan mendapat sebuah Jambar Indahan Arian berupa sepetak tanah atau apapun itu yang sesuai dengan adat Batak. Namun perlu diingat, hal ini dilakukan masih dalam tahap kompromi yang disebut Husip Mangumparpar.
Lanjutan dari acara ini adalah Parsinabul atau Paidua Hasuhuton akan mengundang pihak Hulahula untuk memberikan adatnya kepada yang meninggal dunia. Adat yang mereka berikanpun kira–kira seperti ini.
Jika ayah yang meninggal dunia tentu Hulahula Pamupus yang pertama dipanggil untuk melaksanakan adatnya, yaitu Ulos Saput langsung ke atas mayat. Aada kalanya di beberapa daerah ada yang meletakkan Ulos Saput ini di atas peti mayat. Kemudian akan dilanjutkan dengan pemberian Ulos Sampe Tua, Ulos Tutup Batang dan Ulos Pangolian anak Siangkangan (hulahula dari pihak istri) begitu juga ulos dari hulahula dari adik.
Setelah acara penyerahan ulos ini usai, acara akan dikembalikan kepihak marga Boru yaitu berupa Ulos Tonungan Sadari yang biasanya prakteknya akan diganti dengan beberapa lembaran uang kertas. Dan yang berhak menerimanya adalah: Boru Sihabolonan.
Boru Sihabolonan ini adalah boru yang paling tua, atau bisa jaga ke Boru Niampuan yaitu boru dari pihak Parsinabul, atau bisa juga ke Boru Naniabingabing yaitu boru yang tinggal di kampung itu, atau bisa juga ke Boru Torop. Boru ini adalah marga boru tapi istrinya sudah marga lain.
Nah, kemudian akan dilanjutkan ke marga Boru Partohon Si Pandungoi tadi. Dalam tata acaranya, pihak Parsinabul Hasuhuton dan pihak Parsinabul Boru Partohon tadi akan berdialog (marsialus-aluson) sebagai salah satu ciri khas dari budaya batak.
Parsinabul Boru Partohon akan mengatakan seperti ini. “Ipe raja nami, asa naeng manortor ma boru mu, pasahat hamu ma parjolo songon hoba hoba na.” (mereka meminta agar puterinya dilengkapi dengan Ulos untuk dipakai pada saat menari nanti).
“Nungnga dipasahat hamu rajanami hoba hoba. Sonari pe pasahat hamu ma ampe ampe pangiamun suang songoni ma pasahat hamu ma muse ampe ampe pangambirang.” (mereka meminta supaya diperlengkapi ulos yang akan dipakai dikanan dan dikiri juga)
“Asa jagar helamunaon dongan ku manortor ingkon bahenon muna do ampe ampena.” (mereka meminta supaya suaminya juga ikut diberikan ulos untuk menemani si boru manortor).
Setelah prosesi pemberian ulos ini selesai, Si Boru Partohon akan mengungkapkan pesan-pesan atau husip husip. Dia dengan bapaknya waktu masih hidup, yang memang dalam kehidupan tatanan sosial Suku Batak, biasanya perempuan selalu dekat dengan bapaknya, menyampaikan pesan kira-kira demikian.
“Boru molo dung dijou Tuhan au haduan molo cincin pangiamun hon dohot tano sattopak I ikkon jaloonmu do tu Ibotom da, nga denggan hu papulik lao di hamu.” (Bapaknya berpesan: Jika dia kelak dipanggil Tuhan, cincin yang di sebelah kanan dan setapak tanah harus menjadi milik borunya yang sudah dipesankan kepada anaknya (saudara laki laki dari Si Boru Tohon). Perlu dijelaskan bahwa tanah yang diberikan tadi kepada pihak Si Partohon harus diadati dengan istilah Mandegedege lahan tersebut.
Jika yang meninggal adalah ibu, maka yang harus diminta Boru Partohon adalah cincin Pangambirang, anting anting, kalung, gelang dan setapak tanah. Dan juga belakangan ini semua rombongan yang ikut dalam barisan Si Pandungoi sudah mendapat ulos. Beda dengan kebiasaan dahulu, hanya beberapa orang tertentu saja yang boleh dapat ulos. Dan biasanya sesuai adat dan budaya Batak, hanya acara lotung lotunglah Si Boru Partohon Mandungo Dungoi. Artinya harus Mangkuling Ogung Sabangunan, itupun separuh biaya harus ditanggung oleh pihak Pandungo Dungoi atau kalau boleh dikatakan dalam istilah Batak, jika Marsimorot (menambatkan seekor Lembu atau kerbau untuk dijadikan Liatlatan) maka biaya Lahatan adalah tanggung jawab dari Si Partohon.
Biasanya ungkapan itu akan dibalas Parsinabul Hasuhuton sebagai perwakilan keluarga dengan jawaban: “Sude pangidoan muna i, ikkon pasahaton nami do ito dung sidung annon tataruhon Bapa ta on tu inganan parsatokkinon i”. Yang artinya, semua permintaan mu ito akan kami kabulkan setelah ayah kita ini dihantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Selanjtunya setelah semua prosesi budaya ini berjalan dengan baik, Parsinabul hasuhuton pun berterimah kasih kepada Natuatua Ni Huta dan para penetua adat setempat atas sumbangsih Panuturion yang mereka berikan.
Setelah itu Si Parsinabul akan melanjutkan acara dengan memberikan Napuran Tiar (sebuah tradisi memberikan sirih bersama uang) kepada Pargonsi untuk dapat memulai acara Gondang, yaitu Si Pitu gondang. Selama proses Si Pitu Gondang ini, rombonga Si boru tohon akan menari sepuasnya bersama Suhut Partalitali.
Penulis : Aliman Tua Limbong
Editor : Mahadi Sitanggang