HUMBAHASÂ – Kami berangkat pagi. Kebetulan, kita dari Sanggar Maduma Doloksanggul dipanggil ikut mengisi acara pada kegiatan kemah di pantai bukaan di Desa Simangulampe. Disebut pantai bukaan karena memang masih baru dibuka. Jalan masih dari batu ke batu. Tetapi, di sana, cukup eksotis dan menarik. Bisa berkemah sembari menanti sepoi angin dari danau. Pasti sangat menyenangkan.
Saya bisa membayangkannya. Di sana, kebetulan sudah terpasang tenda. “Di bawah ada tenda Jokowi,” kata panitia. Saya tertawa. Yang betul saja tenda Jokowi, pikirku. Rupanya, maksudnya mengarah pada tenda Jokowi di Ibu Kota Nusantara. Dan, tenda di sana dipasang mewah. Cukup nyaman dan luas. Ada seperti kamar-kamar. Saya masuk ke sana. Di sanalah kami bertukar baju.
Dari kejauhan, orang banyak seperti naik sky. Rupanya perahu karet. Tepatnya, namanya stand up paddle (SUP). Mereka menamainya SUP Toba Topi Ni Tao. Saya berpikiran untuk memakainya. Menantang melihat mereka naik stand up paddle mengarungi danau dari Tipang ke Simangulampe di Bakara sembari merasakan angin juga menantang ombak-ombak kecil.
Tapi, mungkin agak susah memakainya. Perlu keseimbangan tubuh. Namun, mereka saja bisa. Berarti cukup latihan, maka akan bisa. Saya urungkan untuk naik stand up paddle. Belum waktunya. Lagipula, saya tak bawa baju ganti dan juga belum latihan. Waktu makan siang sudah habis. Kami istirahat di bawah rimbunnya pohon dan buah mangga. Sayang, mangga belum bermusim.
Di tengah waktu makan siang, Tongam Sirait dan timnya mengalunkan lagu. Suasana menjadi lebih tenang. Hari cukup terik. Terik sekali. Ini sepertinya menjadi kesempatan emas untuk menceburkan diri. Karena itu, para pengunjung mulai turun ke danau. Mereka memakai stand up paddle. Masih kurang. Maka, stok stand up paddle ditambah lagi. Ditambah lagi. Dan, ditambah lagi.
Ada anak-anak. Ada kakek-kakek. Ada nenek-nenek juga. Tentu saja ibu-ibu. Bapak-bapak. Apalagi yang masih muda. Mereka terlihat nyaman untuk naik stand up paddle. Dari sana saya paham, oh, ternyata tak susah-susah amat naik stand up paddle. Kalau tak bisa berdiri, ya, duduk. Ya tidur. Lalu, dayung. Sayang, saya tak bawa baju ganti. Andai saja punya, aku pasti ikut cebur.
Pertama, ya, tergolong aman. Kita punya pelampung. Kaki juga diikat dengan stand up paddle. Jadi, sekiranya jatuh karena tak tahu menjaga keseimbangan, kita masih aman-aman saja. Maksud saya, ternyata musim stand up paddle sudah sangat cocok kok di Danau Toba. Ini akan menjadi tren baru sebagai magnet untuk wisatawan. Semakin modern, semakin baik dan semakin menantang.
Perkemahan dengan tenda Jokowi pun sudah sangat menggoda. Di pinggir-pinggir pantai. Ada sepoi angin. Ada desiran pantai. Sangat menggoda bahkan hingga malam. Terutama kalau suka dengan suasana alam malam hari. Namun, persoalannya, untuk sekarang ini, warga Humbang belum terlalu suka dengan perkemahan. Orang luar pun masih termasuk jarang datang ke Bakara.
Ada lumayan banyak penyebabnya. Pertama, aksesnya yang sulit. Akses ke Bakara memang sudah normal. Artinya, jalan aspal beton ada. Meski berlobang di berbagai tempat, rasanya masih wajar. Cuma memang, jalan terlalu menanjak atau terlalu curam. Tetapi, jalan menanjak atau terlalu curam mestinya tak menjadi kesulitan yang berarti sehingga harusnya akses ke Bakara tak menjadi persoalan besar.
Hanya memang, ini menjadi persoalan lumayan besar karena begitu datang ke Bakara, kita seperti berada pada jalan buntu. Ya, sampai di Bakara, kita seakan tak tahu mau ke mana lagi. Bakara tidak seperti Samosir. Berkunjung ke Samosir, banyak pilihan rute dan destinasi. Bakara? Ya, hanya di situ-situ saja meski ada banyak destinasi unggulan. Ada situs budaya. Ada hamparan sawah. Ada air terjun.
Dan, kini ada lagi stand up padle. Tambahan destinasi seperti ini akan membuat wisatawan makin betah dan makin banyak alternatif. Apalagi jika ditambah dengan tempat tongkrongan di tepi-tepi pantai. Ya, semua masih butuh proses. Tapi, satu yang pasti, wisata di Baktiraja makin berdenyut. Tinggal bagaimana mengedukasi agar masyarakat ramah pada pengunjung.
Kata orang, jangan menjadi parsahalian. Sebab, mental ini cukup mengganggu. Saya beberapa kali datang ke Bakara. Yang terakhir ini, sambil membawa anak sanggar ke Stand Up Paddle, saya membeli mangga. Kali ini dari anak kecil. Sungguh tak ramah. Hanya kita tanya, loh, mengapa mangganya mahal? Ia menjawab, percuma bawa mobil. Kalau tak mau, cari ke tempat lain kalau ada.
Mental seperti ini yang harus diubah. Karena itu, kebetulan penjual itu masih anak sekolah, saya menasihati agar lebih ramah. Ia mengangguk. Ia pun memberi tambahan mangga kepada saya. Maksud saya, sembari membangun destinasi wisata di Bakara yang semakin berdenyut, kita tak boleh lupa membangun jiwa warganya agar juga berjiwa wisata yang tetap ramah pada tamu. Dengan begitu, kita pasti rindu untuk pulang bukan?
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor     : Mahadi Sitanggang