NINNA.ID – Ada banyak pendapat netizen atas tulisan saya sebelumnya. Entah dari mana sumbernya. Disebut, Sisingamangaraja juga pernah bermarga Simamora. Ada juga bermarga lain. Saya sih percaya saja. Apalagi kalau labelnya sebatas itu: Sisingamangaraja. Sebab, itu hanya nama. Namun, kalau Raja Sisingamangaraja, saya lebih percaya hanyalah marga Sinambela. Tepatnya dari Bona Ni Onan. Tak ada yang lain.
Saya ingin mengklaim sesuatu sebentar lagi. Namun, sebelum klaim itu, saya ingin bercerita sebentar saja. Kita mulai dari sini: Sisingamangaraja adalah tokoh nasional. Ia pahlawan. Ia milik semua orang Indonesia. Dulu, ada uang seribu rupiah. Sekarang ini, uang itu tak cukup lagi bayar parkir. Seribu rupiah sudah seakan tak berharga lagi. Tapi, dulu sekali, uang seribu sudah cukup mahal. Cukup berharga.
Uang sekolah saya dulunya seribu per setiap bulannya. Jajan 50 rupiah per minggu. Maksud saya, sewaktu uang yang kita bicarakan ini, seribu rupiah sudah mahal. Nah, pada uang itu, dengan gagah tampillah foto dengan latar biru. Foto itu adalah foto rekaan Raja Sisingamangaraja XII. Mengapa sampai saya bercerita tentang itu? Sederhana: berarti orang di balik foto dalam uang tersebut milik semua orang Indonesia.
Tak diragukan lagi, ia orang terhormat. Ia besar. Ia agung. Hampir di setiap provinsi ada nama jalan dengan namanya. Maksud saya, ia milik bangsa ini. Tapi, ada satu daerah yang sesungguhnya lebih sah untuk mengklaimnya sebagai miliknya. Daerah itu adalah Sumatera Utara. Namun, Sumatera Utara juga ternyata cukup luas. Hingga ke Nias. Jadi, mari spesifikkan lagi, ia milik daerah Batak di Kawasan Danau Toba.
Masih bisa dispesifikkan lagi rupanya. Sebab, ada tujuh kabupaten di Kawasan Danau Toba. Nah, kabupaten manakah itu? Sebenarnya hampir boleh mana saja dari yang tujuh itu. Tergantung ambisi dan motivasinya. Artinya, kalau Toba mau klaim, mereka berhak. Toh, kini mereka menamai lapangan besar mereka dengan nama Sisingamangaraja. Tapanuli Utara juga bisa klaim. Jejak sejarah bisa dihadirkan. Pakpak dan Dairi apalagi. Mereka bisa klaim.
Namun, jika semua kabupaten itu punya ambisi dan motivasi yang kuat, maka satu-satunya yang sah untuk mengklaimnya hanya Humbang Hasundutan.
Tak ada selain itu. Apa pun alasan kabupaten lain tak akan relevan lagi. Karena itu, berbanggalah Humbang Hasundutan sebab dari dulu, satu-satunya tokoh yang fotonya masuk mata uang yang beredar secara nasional hanyalah dari Humbang Hasundutan.
Ini bisa berarti lain. Maksudnya, jika ada even serius dan besar, bahkan menasional dengan tagline Sisingamangaraja, dipastikan yang paling sah untuk mengklaimnya adalah Humbang Hasundutan. Dengan figur itu, Humbang Hasundutan bahkan bisa lebih populer lagi. Begini ceritanya. Sudah ada surat edaran supaya pahlawan nasional dari Sumatera Utara dipajang di setiap kelas di Sumatera Utara. Berbagai sekolah sudah mulai menganggarkannya.
Saya hampir sangat yakin, salah satu figur yang akan dipajang adalah Raja Sisingamangaraja. Di bawah namanya akan tertulis paling tidak tempat lahir dan tempat kematiannya. Dan, keduanya, kelahiran dan kematian, adalah di daerah Humbang Hasundutan. Sadar atau tidak, akan tertanam sebuah pertanyaan di benak siswa: Humbang Hasundutan itu di mana, sih? Jawabannya akan makin kental jika even dengan tagline Sisingamangaraja menjadi hak paten Humbang Hasundutan.
Namun, jika Humbang tak punya ambisi, misi, juga motivasi, hak paten ini bisa dicuri kabupaten lain. Dan itu sah. Alasannya banyak. Mulai dari alasan menghormati pahlawan, dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya. Artinya, alasan mereka sah, sah, dan sah. Cuma hasil akhirnya bisa jadi tak enak. Apalagi zaman sekarang adalah zaman meme. Dengan mengutip kitab suci mereka bisa memukul kita.
Begini misalnya. “Ya begitulah, nabi memang tak dihargai di tanah kelahirannya. Sama, pahlawan juga”. Itu masih satu hal sebelum akhirnya mereka sampai hal lainnya. Sebut misalnya dengan menyebut bahwa Balige adalah kota para raja karena makam Sisingamangaraja dan lapangan Sisingamangaraja ada di sana. Mereka juga bisa mengklaim bahwa Balige adalah kota para raja karena berasal dari kata mahkota raja.
Ya, Balige punya sejarah unik. Ia kota para raja. Karena itu dinamai Balige. Berasal dari kata Mahligai Raja. Kemudian jadi Baligeraja. Sepadan, dengan ambisi kuat, mereka bisa bermain bahasa: Sorimangaraja, Srimaharaja, Sisingamangaraja. Sebab, Kota Balige begitu bersejarah. Di sekitar kelahiran “sisingamangaraja” bermarga Panjaitan itu, konon ada prasasti peninggalan dari Kerajaan bercorak Hindu-Budha. Itu terlihat dari penamaan Sibasopaet yang terhubung dengan Raja Sisingamangaraja dan “sisingamangaraja” bermarga Panjaitan.
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang