NINNA.ID – Yogyakarta memang punya minat dan niat. Terlebih, mereka punya kesungguhan. Hampir semuanya. Pemerintah menyokong, rakyat mendukung. Iklimnya pun jadi akrab. Entah hari itu berbeda. Kebetulan, saya kurang tertarik untuk menanyakan. Yang pasti, dalam pendengaran saya selama di sana, lagu-lagu tradisi selalu diputar.
Musik-musik tradisi selalu menghiasi ruang dengar. Tak pernah saya dengar lagu-lagu pop. Tak pernah. Entahlah kebetulan hanya hari itu. Namun, satu yang dapat saya simpulkan, mereka sangat menghargai tradisinya. Mereka sangat percaya diri bahwa wisatawan datang untuk menikmati tradisi, bukan menikmati budaya populer.
Pemandu wisata saya juga sangat ramah. Ia mengantar saya ke mana-mana. Ia tak hanya jadi supir. Ia menjadi pencerita. Semua titik lokasi dia ceritakan dengan sejarahnya. Filosofinya juga dapat.
“Pembangunan di sini harus melibatkan unsur api, laut, tanah. Jadi, harus ada dari gunung api, pantai, dan tanah,” tukasnya.
Intinya, ia tak jemu memberikan pengetahuan. Tanpa saya tanya. Dia beberkan dulu ceritanya. Diberikan maknanya. Lalu, ia seperti tahu diri. Tahu bahwa saya sudah puas dengan cerita, ia biarkan kami untuk bebas mencari apa saja. Begitu seterusnya pada hampir semua titik. Hingga akhirnya, saya yang menarik diri.
Ada hal yang cukup menarik bagi saya. Itu ketika masuk ke keraton. Tradisi dipamerkan. Wayang tentu saja. Juga dengan gamelannya. Kupikir saat itu saya sedang beruntung. Nyatanya tidak. Bahwa konon, setiap hari, seni tradisi itu selalu dilakonkan. “Setiap hari selalu ada pertunjukan ini,” kata supir yang ramah tersebut.
Ia lalu bertanya. Bagaimana di Danau Toba? Saya tersenyum. Ya, bagaimana tidak tersenyum. Di Danau Toba, iklimnya belum seperti di Yogyakarta. Apalagi iklim kesenian tradisinya. Semua masih insidental. Kadang-kadang tiba-tiba. Datang tamu, sambut dengan tari-tarian. Berhenti sebatas di situ saja.
Ada festival besar. Tradisi selalu disisihkan. Sebatas pengisi acara. Bahwa pada puncaknya sudah pasti lagu-lagu pop. Begitu selalu. Selalu begitu. Pelan-pelan, kesenian dan pertunjukan tradisi pun disisihkan. Saya ulangi: disisihkan. Siapa lagi saat ini yang misalnya, pernah menonton Opera Batak di acara-acara besar?
Sebaliknya, acara besar mana yang tak pernah membuat puncak acara dengan musik pop? Ada tradisi? Ada. Tapi, sebatas penghias. Mereka terpinggirkan. Terpinggirkan dari segalanya. Dari perhatian. Dari pentas. Dari bayaran. Karena itulah, ketika supir itu bertanya, saya tersenyum. Tersenyum kecut tentu saja.
Masyarakat abai, ikut-ikutan pemerintahnya. Ya, secara budaya populer memang, tak asyik menonton tradisi. Tak terlalu menghibur menonton Opera Batak. Lebih asyik menonton budaya heboh-heboh. Datangkan artis, lalu joget bersama. Tetapi, apakah selalu itu yang kita butuhkan? Terus terang, saya kasihan dengan diri sendiri.
Lebih kasihan lagi pada seniman tradisi. Maka, kuingat lagi pertanyaan dari seniman Bali. “Bung Ridwan, pasti di Danau Toba seni tradisinya hidup kan? Seperti Opera Batak?”. Saya tersenyum. Hari ini siapa masih peduli pada itu semua? Semua berburu pada budaya pop. Semua berburu pada modernitas. Tradisi diketepikan.
Seniman dari Bali itu bercerita lagi. Ini cerita tentang di daerah mereka. Tak perlu saya dengar serius. Mereka hanya menambah luka. Tak perlu juga saya ceritakan di sini. Siapa peduli dengan cerita seperti itu lagi saat ini? Karena itu, judul ini agaknya keterlaluan. Masakan kita perlu belajar dari cara Yogyakarta yang menghargai tradisinya?
Teman seniman bertanya. Itu-itu saja cenderung pertanyaannya. Tetapi, di setiap jawaban, saya hampir selalu bilang. Saya bukan seniman. Bukan juga budayawan. Saya hanya orang yang menaruh perhatian kecil. Setidaknya melalui tulisan. Sebatas itu saja. Bahwa saya hidup dari kesenian, itu saya tentang. Malah kesenian kadang jadi pengeluaran bagi saya.
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang