SIMALUNGUN – Bagi warga Sumatera Utara, Kota Parapat sudah lama menjadi destinasi wisata unggulan yang sudah dikunjungi berkali-kali. Bagi pelintas dari Tapanuli ke Pematangsiantar atau sebaliknya, bahkan bisa dengan mudah membayangkan kondisi jalan menuju Parapat. Namun belum tentu semua pernah mengunjungi bahkan mendengar jika di Parapat ada terowongan yang biasa disebut Batu Lubang. Di masa penjajahan. terowongan ini merupakan satu-satunya akses penghubung dari daerah Keresidenan Tapanuli menuju Keresidenan Sumatera Timur.
Sebagaimana kerap diceritakan oleh orang tua secara turun temurun, dulunya keresidenan Tapanuli merupakan penghasil beras terbesar di pulau Sumatera. Saat itu masyarakat sekitar masih mengenal perdagangan dengan sistem barter, atau barang tukar barang.
Jadi untuk mendapatkan garam dan ikan asin, orang-orang dari Tapanuli memikul beras melalui batu lubang ini ke Pematang Siantar untuk di barter dengan ikan asin, garam serta kebutuhan lainnya.
Perjalanan dengan beban yang cukup berat itu tidak selamanya berjalan mulus. Saat tiba di batu lubang rombongan para pemikul beras dan hasil pertanian lainnya dari Tapanuli itu sering di razia oleh pasukan penjajah Jepang. Segala hasil bumi yang mereka pikul pun berpindah ke tangan penjajah.Mirisnya lagi sebagian dari masyarakat pribumi itu bahkan ada yang ditahan untuk dipekerjakan secara romusha.
Konon dengan alasan menghindari razia oleh pasukan Jepang di Batu Lubang inilah, kemudian orang-orang atau saudagar dari Tapanuli pun memilih rute menembus bukit barisan dari kawasan Lumbanjulu menuju Tanah Jawa Kabupaten Simalungun dan Mandoge Kabupaten Asahan.
Kembali ke Batu Lubang. Dari Tapanuli selepas Batu Lubang merupakan sungai sehingga di ujung terowongan tersambung langsung dengan sebuah jembatan. Terowongan Batu lubang ini tepat berada di belakang patung Marsuse Sibaganding.

Dari arah Pematangsiantar Batu Lubang ini hanya beberapa langkah saja ke arah kanan begitu kita menginjakkan kaki dari gapura ”selamat datang di taman wisata primata Sibaganding”. Artinya batu lubang ini berdampingan dengan Jembatan Kembar Sibaganding dan hanya berjarak ratusan meter dari taman wisata primata Sibaganding.
Yang menjadi tanda tanya besar, kenapa lokasi wisata yang merupakan penggalan sejarah bangsa ini jarang dikunjungi padahal lokasinya cukup strategis? Di dunia maya, data terkait Batu Lubang ini juga termasuk sangat minim. Jejak sejarah bangsa ini seolah terlupakan. Kini di pangkal terowongan sudah ada kamar mandi dan di dalam terowongan kelihatan sudah ada terpasang bola lampu listrik.
Saat ninnA ke lokasi, tidak ada ditemui petugas yang meminta pungutan atau biaya lain yang harus dikeluarkan untuk bisa menjelajah terowongan. Batu Lubang ini hanya 40 kilometer dari Pematangsiantar atau 5 kilometer sebelum Kota Parapat. Dengan jarak yang sangat terjangkau dan letaknya di tepi jalan utama, sepinya kunjungan wisatawan tetap menjadi misteri.
Penulis : Asmon Pardede
Editro : Mahadi Sitanggang