NINNA.ID – Di channel “Guru Gembul”, seseorang mengatakan bahwa sejarah dan asal-usul Batak tidak jelas. Ia mencontohkannya dengan Barus. Seperti diketahui, Barus memang sudah berumur tua. Konon katanya sudah ada dan eksis jauh sebelum masehi. Dan, di wilayah administratif modern, Barus ada di Tanah Batak.
Pertanyaan Guru Gembul: di mana Batak? Saya melalui channel pribadi (Riduan Situmorang) sudah menjawabnya. Pada intinya saya berkata: kemungkinan Barus seumur dengan Batak. Bahwa pada awal-awal nomenklatur “Batak” belum ada itu hal yang biasa.
Tidak semua yang tertulis mewakili kebenaran. Tak semua yang tak tertulis adalah kesalahan.
Saya selalu suka beranalogi. Indonesia, misalnya. Siapa bilang Indonesia sudah ada sebelum Masehi atau di dekade awal Masehi? Barus jauh lebih tua dari Indonesia. Sebagai nomenklatur, Indonesia bahkan lebih mudah dari Barus, Sriwijaya, Majapahit, dan sebagainya. Di awal-awal pun, Indonesia bukan bangsa. Indonesia hanya letak geografis.
Nama ini bukan milik kita. Ini pemberian dari luar. Tersebutlah George Samuel Windsor Earl pada 1847. Ia menyebut dua daerah: Indu-nesians dan Melayunesians. Tiga tahun kemudian, James Richard Logan memperkenalkan nama “Indonesia” dan oleh Adolf Bastian pada 1884. Dan, pada saat itu, nama itu belum jadi kebanggaan siapa pun.
Siapa pun belum merasa Indonesia, bahkan setelah nama geografis itu disebutkan ilmuwan luar. Kemudian, ada pergesaran. Geografis menjadi politis. Nama Indonesia mulai banyak dipakai orang Nusantara. Sumpah Pemuda dicetuskan. Lama-lama, politis menjadi patriotis. Itulah ujungnya sebuah kebanggaan. Alurnya simpel: geografis, politis, ideologis, patriotis.
Lantas, kita bertanya: apakah Indonesia belum ada pada tahun 1700-an ke bawah? Apakah Sriwijaya merupakan sejarah yang terpisah dengan Indonesia? Kalau mengambil pola pikir “Guru Gembul” (dan saya yakin di luar sana banyak yang mengadopsinya), kita tentu tak salah untuk berkata: asal-usul Indonesia juga kurang jelas.
Saya tak sedang mengatakan Indonesia tak jelas. Saya hanya mau masuk ke poin ini: Batak itu juga sama dengan Indonesia. Ketika Barus sudah terkenal saat nomenklatur “Batak” belum ada bukan berarti Batak tidak ada hanya karena nama ini baru muncul pada abad ke-13 dengan sangat jarang.
Saya percaya, Barus bukan sejarah yang terpisah dengan Batak. Gampang untuk melogikakannya. Ini sebuah cerita. Datanglah para pengelana. Ada dari Arab. Ada dari Cina. Ada dari Persia. Ada dari Mesir. Ada dari India. Mereka berkumpul hingga ke Barus. Katanya mencari rempah endemik: getah kemenyan dan kapur barus.
Mungkinkah para pengelana itu datang tanpa ada orang lokal? Mungkinkah Barus dulunya tanah tak bertuan? Mungkinkah pedalaman di dataran tinggi sebagai tempat kemenyan tumbuh subur tanpa ada orang yang mengusahakan? Logika apa pun yang dipakai, tentu sebelum pengelana itu tiba, pasti sudah ada manusia di Barus dan di pedalaman.
Gaya hidup mereka memang aneh. Keras. Brutal. Beberapa bahkan kanibal. Lalu, muncullah sebutan untuk menghina: mereka itu Batak. Nama ini kemudian melekat pada semua yang di pedalaman. Kebetulan yang di pedalaman seperti bersepakat terkait adat: bermarga. Maka, totallah semua yang bermarga disebut Batak.
Karo jadi Batak. Toba jadi Batak. Simalungun jadi Batak. Angkola juga. Mandailing. Pun Pakpak. Kini, ada beberapa dari kita yang seperti tersadar dengan adanya gerakan bukan Batak. Ada dari Karo. Ada dari Simalungun. Ada dari Mandailing. Bahkan, beberapa juga dari Nias. Sebagai ilmu, ini menarik. Tetapi, sebagai filosofi, ini seperti kurang kerjaan.
Mari beranalogi lagi. Apakah karena nama Indonesia bukan dari Indonesia (sempat dulu ada ucapan sensitif “Indon” bukan?) maka kita, misalnya, membuat gerakan Sumatera bukan Indonesia, melainkan Nusantara atau Sriwijaya atau Batak atau Samudera Pasai? Maksud saya: semua yang melekat pada kita sebenarnya tidak selalu dari kita.
Analogi lebih sederhana bisa dihadirkan. Nama saya Riduan Situmorang. Saya tak meminta nama itu. Itu diberikan orang lain kepada saya, yaitu ibu saya. Saya sebut orang lain karena secara organ tubuh, aku sebagai individu tentu berbeda pula dengan ibuku sebagai individu. Aku yang mengunyah, maka yang kenyang adalah perutku, bukan perut ibuku. Kami berbeda, bukan?
Tetapi, keberbedaan kami tak menjadi simbol bahwa kami putus sejarah, bukan? Nama saya itu meski dari luar organ tubuh saya secara individu selalu saya banggakan. Saya tulis di media sosial. Di ijazah. Di koran. Di tulisan. Saya belum berniat untuk mengubahnya dengan membuat gerakan: aku bukan Riduan Situmorang.
Pada akhirnya, memang akan ada yang mengganti nama. Itu bisa dipahami karena perubahan ideologi atau kepercayaan. Lazim diketahui, ketika Kristen menjadi Islam, nama akan berubah, setidaknya bertambah. Demikian sebaliknya. Ketika Islam menjadi Kristen. Hindu jadi Islam. Budha jadi Kristen. Kristen jadi Konghucu. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Saya tak sedang berpikiran buruk. Tetapi, jika bisa menebak, saya melihat bahwa gerakan untuk membuat dirinya bukan Batak adalah seperti gerakan mengubah atau menambah tadi. Jadi, jangan-jangan ini erat kaitannya dengan perubahan ideologi atau kepercayaan. Jika hanya untuk sebagai ilmu, tentu bukan seperti ini jadinya bukan?
Oh, iya. Tulisan ini jadi kepanjangan. Padahal niat saya tadi hanya ingin menulis tentang “Batak Sebelum Silsilah”. Pada esai berikutnya, kita bisa membahas itu.
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang