NINNA.ID – HUMBAHAS
*Ini adalah perjalanan tim dari Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Utara, untuk mencoba mencari jejak Sisingamangaraja. Pada mulanya adalah mitologi kelahiran Sisingamangaraja, dengan proses yang mistis dan jauh dari kewajaran manusia biasanya.
*Huta Ginjang Dolok di Desa Sinambela termasuk desa tua. Desa ini dibuka oleh Op Humutur Sinambela. Op Humutur adalah anak dari Raja Pareme. Berarti, ia selevel dengan Raja Sisingamangaraja I yang merupakan keturunan dari Bona Ni Onan. Bona Ni Onan adalah adik Raja Pareme. Desa ini baru ditinggalkan di awal 2000. Berarti, desa ini sudah menyimpan banyak kisah.
*Kami menggali di kampung bukaan Ompu Humutur. Kiranya, dengan mengetahui jejak Ompu Humutur diharapkan dapat mengetahui pula jejak Raja Sisingamangaraja I. Sebab, untuk mencari jejak seseorang, kita bisa mencarinya dari jejak orang di masanya, terutama kerabat di masanya. Ompu Humutur adalah kerabat dekat Raja Sisingamangaraja I.
Temuan Kerangka, Tangisan Ibu, Dan Kambing Putih
Tak terasa, Kamis kemarin adalah hari ketiga bagi kami untuk menggali. Pada hari kedua kemarin, kami menemukan teridentifikasi tiga individu di titik penggalian BKR-2 dan BKR-3. Tenaga lokal (tenlok) cukup terkejut dengan penemuan itu. Terkejut karena mereka tak menduga akan ada kerangka manusia di sana.
Lagipula, mantan penghuni dan yang menjadi terakhir pindah dari rumah itu, yang kebetulan juga diberdayakan Balai Arkeologi sebagai tenaga untuk menggali, tidak mengetahui kerangka tersebut. Ia pun keheranan seolah tak percaya. Lama sekali kami bertanya tanya tentang apakah ada leluhurnya yang dulu dimakamkan di sana?
Lama sekali pula ia berpikir. Dari pagi hingga sore pada hari kedua, ia tak kunjung menjawab. Pagi hingga menjelang siang, ia juga masih tak mengingat apa-apa. Artinya, kita menduga, kemungkinan besar kerangka itu sudah berumur tua. Tua sekali sehingga tak ada yang mengingat.
Pada Rabu malam, Kepala Balai Arkeologi, Ketut, tiba di Bakara. Ia menginap bersama kami di Hotel Senior. Mendengar temuan-temuan itu, Pak Ketut cukup antusias lalu memberi arahan. Arahan itu misalnya, berupa asumsi yang mungkin menjadi penyebab adanya kerangka itu di sana.
Ia mencontohkan Bali. Dulu di Bali, kata Pak Ketut, jika ada kematian beraroma sial, sosok yang meninggal itu akan dimakamkan secara sembunyi-sembunyi di bawah rumah. Banyak alasan, seperti supaya rohnya tidak dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan mistis. “Apakah hal itu juga terjadi di sini?” tanya Pak Ketut.
Suasana hening. Terasa ayunan ombak di bawah restoran tempat kami makan. Pak Ketut lanjut memberi arahan. Kata beliau, masyarakat setempat, pemerintah desa setempat, dinas terkait, bahkan bila perlu Pak Bupati juga sebaiknya ikut ke penggalian. Tentu saja yang paling utama juga adalah tokoh masyarakat setempat.
Satu perhatian kita, penemuan seperti ini adalah sesuatu yang sangat baik. Katakanlah tidak untuk meluruskan sejarah. Namun setidaknya, penemuan seperti ini memberi informasi tambahan bagi kita. Di Takengon, pernah ditemukan manusia berumur 3.000 tahun. Penemuan ini termasuk penemuan bersejarah dan meluruskan banyak hal. Kadang, kita harus berdamai dengan kenyataan. Itu artinya, kita juga harus berdamai dengan sejarah.
Karena itulah di tempat lain, penemuan identik juga bisa diberdayakan untuk melengkapi sejarah, bahkan dibuat pertambahan nilai dengan menjadikannya sebagai wisata sejarah-kultural. Saya pikir, hal serupa bisa dilakukan di Bakara. Sebab, bagi saya pribadi, Bakara itu adalah anugerah. Ia kaya akan sejarah. Ia kaya akan budaya. Bagaimana kalau saya sebut ia seperti Tanah Kanaan Kedua?
Baik, bukan itu poin kita. Saya hanya tiba-tiba teringat bahwa wisata bersifat kultural-spritual sangat potensial. Mau tahu kenapa? Ayo melihat data lawas dari negeri jauh. World Tourism Organization, mencatat bahwa setiap tahun industri pariwisata dunia hanya tumbuh rata-rata 4%. Rendah sekali bukan?
Pada periode yang sama, mengacu pada data Boston Globe, sejumlah biro perjalanan wisata di Amerika Serikat justru mencatat pertumbuhan yang sangat pesat, pernah sampai menembus angka 164%. Pertumbuhan ini tentu saja bukan karena semakin banyak pantai yang menawan, gunung yang menjulang, jalan yang berkelok, tetapi lebih pada wisata spiritual dan kultural.
Masyarakat rupanya sudah cenderung mencari ketenangan dan kealamian. Itu fakta. Kita harus berdamai dengan fakta sebagaimana harus berdamai dengan sejarah, bukan? Menarik, di Bakara, kita bisa membuat irisan wisata alam dengan wisata sejarah-kultural. Menariknya lagi, semua temuan ini nantinya bisa dibuat pertambahan nilai untuk menyejahterakan masyarakat sekitar. Apakah pemerintah siap dan sigap?
Kini, mata kita tertuju pada pemerintah. Bagaimana mereka menjiwai potensi wisata sejarah-kultural. Yang pasti, banyak negara memberdayakannya dengan baik dan juga bijak. Dan, dari ketinggian di Huta Ginjang Dolok, tepat di lokasi penggalian kami, kami melihat betapa rugi jika stakeholder di Humbang membuat ini jadi sia-sia belaka. Rugi sekali.
Matahari tepat hampir di puncak tertinggi. Lalu, seorang ibu datang dari bawah. Ia tiba tiba menangis. Ia meraung raung. Kami semua menenangkan. Termasuk suaminya yang juga tenlok di sana. Ternyata, suaminya tenlok yang menjadi penghuni paling akhir pindah dari desa itu sudah bercerita dengan istrinya sepanjang malam.
Setelah ibu itu tenang, ia bercerita bahwa ia juga tak tahu siapa sosok itu. Ia seperti menyesal mengapa mereka hidup cukup lama di atas mayat yang tak teridentifikasi. Kami tak bersalah, seolah ia berkata begitu. Siapa pun tak akan menyalahkan orang yang tak tahu bukan? Kami lantas bertanya. Tetapi, tetap saja ia tak tahu siapa.
“Tadi malam, aku bermimpi. Dan, saat ini pun, ia sedang berbicara dengan kita. Bukan aku yang sedang bicara ini, tapi mereka. Mereka bahagia telah ditemukan,” kata ibu itu kepada kami. Terasa sangat mistis. Tetapi, aku punya catatan bahwa mistis bukan untuk tak dipercayai. Walau begitu, kita juga tak harus selalu percaya pada mistis, bukan?
“Begini saja. Ini bukan aku yang bicara. Ini mereka yang bicara,” kata ibu itu terbatabata. Kami menunggu untuk mendengar. Apa kira-kira yang akan disampaikan ibu itu? “Siapkan kalianlah kambing putih itu agar mereka tenang dan kita pun aman-aman,” kata ibu itu.
Terkait kambing putih, saya tertegun. Mengapa harus kambing putih? Mengapa tidak ayam putih atau bahkan kuda putih? Kambing memang terkesan masih jarang dalam tradisi kita. Namun, bukan berarti kambing putih tak pernah masuk sebagai bagian dari bagian ritual. Kehadiran kambing putih sebagai bagian dari ritual menandakan ritual itu serius.
Hanya saja, kita ini peneliti. Soal ritus dan spritual, itu hak warga. Karena itu, soal ritus itu akan dikembalikan pada warga setempat. Mereka lebih fasih berbicara secara metafisik. Sementara peneliti, kami akan selalu menjaga jarak untuk jauh dari subjektivitas, jauh dari dimensi di luar metode yang dapat terukur.
Berbicara penelitian, apalagi beraroma mistis, kita harus menarik jauh dari aroma-aroma seperti itu. Sekali lagi, ritus dan ritual itu hak warga. Kewajiban peneliti adalah menjaga jarak untuk tetap objektif. Sebab, cara terbaik untuk tak berbohong adalah keluar dari aroma seperti itu. Tuhan pernah bernasihat: Katakan tidak jika tidak, iya kalau iya.
Sejauh ini, resep paling jitu untuk menjalankan nasihat dari Sang Khalik tersebut adalah dengan menarik diri untuk tidak masuk ke dimensi yang terlalu dalam. Atau, apakah ada cara atau resep lain? (Penulis adalah Riduan Pembriadi Situmorang, Guru SMA Negeri 1 Doloksanggul, yang ikut dalam Tim Balai Arkeologi Sumatera Utara)
Editor : Mahadi Sitanggang