NINNA.ID – Supaya tak melebar, definisi kata “aneh” harus ditegaskan: sedikit ganjil. Disebut ganjil karena aksara Toba tak mempunyai huruf silabis (suku kata) “ka”.
Seperti diketahui, aksara kita umumnya bersifat silabis (suku kata) sehingga yang ada adalah “ma” (dua huruf) dan bukan “m” (huruf). Nah, dari semua aksara itu, Toba tidak punya “ka”. Lantas, darimana asalnya sehingga ada kata Bakara?
Banyak teori yang bisa dimunculkan. Namun, pada intinya, suku kata “ka” pada “Bakara” konon hanya peristiwa dan perkembangan fonologis atau penyesuaian bunyi. Dan, memang, pada proses selanjutnya, kita mulai akrab dengan aksara yang dekat dengan “k”. Ada, misalnya, “ingkon”. Bahkan, kata “Batak” sendiri punya huruf “k”. Tetapi, itu proses lanjutan.
Bakara sebagai marga tentu boleh dikatakan masih berada di hulu tradisi Batak.
Konon, pada Dinasti Sisingamangaraja, ada pandai yang khusus untuk menulis kitab dalam aksara Batak Toba. Pandai itu tentu pasti ketat dengan penggunaan aksara. Yang menarik, secara marga, Abang Sisingamangaraja adalah bermarga Bakara. Nama ini kemudian menjadi nama geografis dan kini dikenal Bakara.
Pada proses selanjutnya, cap Dinasti Sisingamangaraja membuat kata asal kerajaan, yaitu Bakara. Namun, dalam cap itu, tertulis adalah “bahara”. Kita tentu dapat membuat hipotesis bahwa yang sebenarnya seharusnya adalah Bahara, bukan Bakara seperti yang sudah lazim saat ini. Lantas, sejak kapan kira-kira Bahara menjadi Bakara?
Jika saya ditanya, seiring perkembangan fenomena fonologis, Bahara menjadi Bakara baru muncul setelah huruf Latin mulai jamak. Saya kemudian sedikit mengetahui ini dalam studi etnografi bersama Tim Balai Arkeologi Sumatera Utara. Kebetulan, pada penelitian Kawasan Tinggalan Dinasti Sisingamangaraja itu, saya lebih tertarik untuk melacak informasi.
“Memang betul bahwa yang benar adalah bahara, bukan Bakara,” kata seorang kakek saat itu. Saat itu, ia mulai bercerita. Cerita ini tentang Si Raja Oloan. Dari seorang istri, ia memiliki keturunan bermarga Sihotang dan Naibaho. Datang ke daerah yang kini disebut Bakara, ia menikah lagi. Lahirlah Bakara. Konon, diharapkan, Bakara ini akan memanggil saudaranya dari ibu yang lain: Sihotang dan Naibaho.
Memanggil dalam bahasa Batak adalah manghara. Artinya, dulunya, sebutan untuk marga Bakara saat ini adalah manghara. Paling jauh, ya, bahara. Tapi, tidak semua mengamini informasi dari kakek itu. Namun, setelah saya jelaskan hari itu seperti itu, informan lain merasa bahwa itu masuk akal juga. Tapi, perlu disampaikan disklaimer ini, bahwa masuk akal tak selalu benar bukan?
Baiklah, semoga sampai di sini kita mulai sepakat bahwa pada hulu sejarah, Bakara adalah bahara. Jika belum, mari mengambil data lain. Mungkin, akan terkesan ilmu cocoklogi. Tetapi, mari mainkan saja.
Dulu sekali, konon, daerah Toba menjadi muasal budak. Sangat mungkin mengapa disebut Toba karena dekat dengan kata hatoban yang artinya adalah budak atau pekerja.
Dalam catatan Daniel Parret, para budak umumnya didatangkan dari sekitar Danau Toba untuk bekerja di perkebunan di sekitar daerah Tanah Karo saat ini, seperti Sibayak Barus Jahe, Lingga, dan Kuta Bulu. Mungkinkah ada kaitannya dengan marga Bakara saat ini? Adalah kurang mungkin memang. Tetapi, Bastanta Ginting membuat catatan yang sepertinya memungkinkan.
Jadi, konon, Bakara itu dikaitkan dengan kata bekerah dalam bahasa Batak Karo. Konon, bekerah artinya selain kering (dari kata kerah), juga adalah bekerja. Kerah yang artinya kering bisa dimasukkan dalam arti budak yang kering. Walau begitu, bahasa Batak Karo modern yang artinya bekerja sebenarnya adalah erdahin, bukan bekerah. Jika harus bekerja untuk mengabdi, kita harus mencari kata lain, yaitu erkeras.
Namun, erkeras bukan bekerja biasa. Erkeras adalah mengabdi hula-hula. Ini seperti marhobas dalam bahasa Batak Toba. Jika ditarik maknanya, mungkin sekali dulu orang dari kawasan Danau Toba diambil menjadi pengabdi dan budak, lalu kini mengalami perubahan dan penyempitan makna dari yang dulunya bekerja pada majikan menjadi bekerja pada hula-hula.
Tetapi, kurang masuk akal. Apakah semua orang yang bekerja menjadi hatoban adalah marga Bakara saja. Kurang masuk akal. Tetapi, inilah yang cukup menarik dari Bakara sebagai nama marga dan sebagai nama letak geografis. Ia menjadi salah satu pusat Dinasti Raja besar sekaligus menjadi Abang dari Raja Sisingamangaraja, namun salah satu suku katanya malah bukan dari aksara Toba. Sedikit aneh bukan?
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor    : Mahadi Sitanggang