NINNA.ID – Disebut pananggai. Itu bahasa halusnya dalam bahasa Batak. Ia berbeda dengan binatang lainnya. Babi dipanggil pinahan. Artinya, babi peliharaan. Lembu dan kerbau dipanggil sigagat duhut. Maksudnya, pengonsumsi rumput. Dari penamaan itu, anjing sangat terhormat. Anjing bukan sekadar binatang. Mungkin, ia setingkat di atas binatang.
Soalnya, seumur-umur, saya tak pernah melihat peternakan anjing. Peternakan babi cukup banyak. Sapi juga. Apalagi kerbau. Artinya, anjing bukan untuk diternakkan. Anjing adalah sahabat. Maka, ia dijuluki pananggai. Apakah anjing tak bisa dimakan? Secara biologis, tentu saja bisa. Manusia adalah omnivora. Maksudnya, pemakan segalanya.
Dan memang, di hulu sejarah manusia, anjing adalah buruan. Karena itu, anjing sudah pasti juga makanan. Namun, manusia adalah makhluk cerdas. Manusia mencari siasat. Anjing pun dijadikan tandem untuk berburu. Prosesnya pasti memakan banyak waktu. Jadi, siklusnya bisa disederhanakan. Semula diburu, lalu dijadikan mitra berburu.
Sebagai mitra, anjing diberi makan oleh manusia. Mulai ada perubahan. Makanan manusia dimakan anjing. Terjadilah adaptasi. Bahasa ilmiah menyebutnya evolusi. Evolusi itu dimulai dari anatomi pencernaan anjing. Terjadilah pelan-pelan perubahan genetika. Anjing menjadi berbeda dengan serigala. Padahal, sebenarnya, serigala dan anjing senenek moyang.
Ini tentu membutuhkan waktu yang cukup lama. Mungkin sampai puluhan ribu tahun. Dan, menurut penelitian, anjing mulai berpisah dengan ras serigala sejak 7.000 sampai 30.000 tahun lalu. Anjing yang bisa beradaptasi dengan mengonsumsi makanan manusia inilah yang nantinya menjadi teman manusia. Bahkan keluarga manusia.
Bahasa ilmiah anjing bisa diacu untuk Serigala dan anjing yang bernama ilmiah canis. Namun, setelah mulai ada perbedaan genetika, nomenklatur dibuat lebih spesifik. Serigala disebut canis lupus dalam bahasa Latin. Sementara itu, anjing disebut canis familiaris. Familiaris adalah turunan kata dari familia.
Familia dalam bahasa Latin adalah keluarga. Jadi, bisa disebut, anjing adalah binatang yang sudah dianggap jadi keluarga. Sebab, anjing mulai meniru pola makan dan bahkan perasaan manusia. Malah, genetika khusus saraf perasaan dan pencernaan inilah yang membedakan anjing dengan serigala.
“Kami menemukan adanya perbedaan dalam genetik dan cara kerja sistem pencernaan anjing dan serigala. Sistem pencernaan anjing telah beradaptasi sedemikian rupa sehingga mereka bisa bertahan hidup dengan mengonsumsi makanan yang mirip dengan makanan manusia,” ungkap peneliti Erik Axelsson dari Uppsala University di Swedia, seperti dilansir oleh NY Daily News.
Begitulah sekilas kurang lebih hikayat anjing. Dari liar jadi jinak. Dari buas jadi perasa. Karena itu, manusia menyayanginya. Itu untuk ukuran emosional. Namun, secara biologis, manusia itu omnivora. Ia bisa memakan anjing. Dan, itu sah.
Bahwa ada gejala penyakit, semua makanan justru jadi sumber penyakit kok. Beras putih, misalnya, menimbun gula. Begitu juga yang lainnya. Namun, tetap dimakan bukan? Artinya, anjing sah untuk dimakan dan aneh jika dilarang.
Tetapi, tentu tak semua manusia suka memakan anjing. Ini masalah selera. Dan, masalah selera tidak lagi bisa kita buat jadi ukuran. Orang Barat tak selera makan nasi. Tetapi, nasi tetap makanan bukan? Dalam kacamata demikianlah mengapa kita bisa menerima orang yang memakan daging anjing dan tak memakan daging anjing. Itu hanya masalah emosional. Saya punya seorang keluarga. Lae tepatnya.
Ia doyan ayam. Doyan sekali. Suatu saat, ia pulang sekolah. Ayam disajikan. Ayam kampung. Pasti lebih sedap. Lapar dari sekolah, ia pun lahap ayam itu. Setelah kenyang, ia kemudian mencari sesuatu. Ia bertanya pada ibunya: mana ayam jantanku? Ibu menjawab: baru saja kita makan. Dia menangis. Ia bersedih. Tak mau dicakapi. Ia bahkan muntah dan jatuh sakit.
Ia menyesal memakan ayam yang ia pelihara sebagai teman. Itulah yang membuat dia sakit. Namun, ia tetap memakan ayam. Sampai sekarang, itu kesukaannya dan itu tak membuatnya sakit. Sekali lagi, dalam kacamata demikianlah kita membaca memakan atau tidak memakan daging anjing. Kalau bukan anjing kita, karena halal bagiku dan terbukti menyehatkan, aku hanya bilang: ayo gas.
Toh, leluhur kita sangat mungkin memakannya. Sebab, menurut E.H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, orang Batak punya tradisi kuat makan daging. Dalam setiap upacara adat maupun upacara agama di kalangan penganut agama leluhur, daging selalu menjadi hidangan atau sesajian. Hewan yang disembelih beragam.
Mulai dari yang halal seperti kerbau, ayam, dan kambing hingga non-halal seperti babi dan anjing. Berbeda dengan babi yang jelas hewan ternak, bagi orang Batak anjing diperlihara sebagai penjaga rumah atau penjaga ternak. Tapi, ketika di meja makan, keduanya sama saja: menjadi tambul. Kenapa anjing ikut disantap? Kalau pembaca tahu alasan, silakan japri saya sebagai bahan esai berikutnya, ya.
Penulis : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor : Mahadi Sitanggang