NINNA.ID – Saya mau tertawa. Tetapi, ini di Indonesia. Sebenarnya, bukan hanya saya yang ingin tertawa. Banyak sekali. Ini tentang rendang babi. Spesifik lagi: tentang Babiamboo. Jadi, rumah makan ini konon mencatut nama Padang katanya di namanya. Mungkin juga Minang. Saya tak tahu persis. Sebab, di berita, keduanya disebut-sebut. Memang, keterlaluan sih.
Keterlaluannya begini. Ada pepatah yang bilang: di mana langit dipijak, di situ bumi dijunjung. Eh, kok terbalik. Tapi, peduli amat mau terbalik atau tidak. Bukankah kita memang sudah terbalik-balik? Ada sebuah acara dari Kementerian Pariwisata. Nama acaranya keren: Peningkatan Kapasitas UMKM dalam Rangka Temu Bisnis.
Lanjutan nama acara itu mencatut nama keren juga: Destinasi Pariwisata Super Prioritas Danau Toba. Namun, UMKM undangan konon justru tinggal jauh dari Danau Toba. UMKM di daerah Toba malah tak ada. Padahal, namanya mencatut Danau Toba. Aneh bukan? Aneh dong. Mau tertawa sih. Tapi saya langsung ingat: oh, ini masih di Indonesia.
Kira-kira begitulah dengan rendang babi di Jakarta itu. Tak ada yang salah dengan aturan. Tak melanggar hukum dianya. Jadi, ini bukan masalah pidana.
Tetapi, kata mereka, ini tidak soal melanggar pidana atau tidak. Karena itu, diadukanlah orang yang keterlaluan itu kepada polisi. Singkat cerita, ia minta maaf. Dan, kabarnya, sudah tutup pula rumah makan itu.
Saya tak mau masuk terlalu jauh. Toh, para akademisi mengatakan bahwa “minang” atau “padang”, mungkin terutama jika sudah melekat sebagai nama rumah makan, maka harus halal. Jadi, tak etis memasukkan babi rendang Padang. Begitu kira-kira mereka berkata. Sebab, ini sudah semacam pakem. Sekilas sih terlihat bahwa makanan sudah beragama.
Tetapi, kata mereka, ini tidak soal agama kok. Ini murni soal etika. Etika makanan tepatnya. Sebab, kalau etika tentang korupsi, saya pikir, mereka tak seribut ini. Atau, apakah mereka seribut ini? Kalau seribut ini, mohon maaf. Berarti selama ini saya tak mendengar. Maksud saya, sudahlah. Kalau itu murni tentang bahwa setiap menggunakan kata Padang dan Minang tak boleh memasukkan makanan nonhalal, mari kita hargai.
Hanya memang, jika selalu menggunakan akar tradisi, saya tetap ingin tertawa. Entah mengapa. Ceritanya begini. Konon, bakmi dekat dengan budaya nonhalal. Begitu juga dengan bakso. Namun, kini, keduanya beradaptasi. Bakso malah lebih banyak yang halalnya sekarang bukan? Kalau dilihat dari akar tradisinya, aneh juga sih dari nonhalal menjadi halal.
Kini, ada pula rumah makan Batak dengan embel-embel: halal atau Islam. Ada pula kini di Jakarta lapo halal. Padahal, lapo identik dengan nonhalal. Sekali lagi, saya bukan tak sedang menghargai Minang dan Padang dan yang lain. Jika tak salah tafsir, makanan dengan label ‘Padang” dan “Minang” justru bertransformasi kok.
Konon, ada seorang pesiar agama. Ia sangat suka bumbu rendang khas Padang-Minang. Suka sekali. Hingga kemudian, pesiar agama itu menyesal. Sebab, ayam yang direndang itu ternyata tidak dipotong sesuai syariat Islam. Pada kemudian hari, mohon maaf, saya tak tahu persis. Data tentang ini saya caplok dari tulisan seorang filolog Fadhly Rahman.
Jadi, kata Fadly Rahman, konon, ada sekumpulan anak membawa menu babi hutan. Sang penyiar agama itu menolak tegas. Dari cerita itulah, kata Fadhly Rahman, harus dipahami bahwa nilai islami sudah mengakar pada Sumatera Barat. Jadi, mari hargai. Ingat pepatah yang terbalik di atas. Meski terbalik, ya, biar saja. Justru lebih mengena bukan?
Tetapi, bumbu khas Minang atau Padang ini memang luar biasa. Ia masuk ke segala jenis daging, bahkan makanan. Di Doloksanggul, kini ada rendang daging kuda. Sedapnya luar biasa. Tak afdol rasanya datang ke Doloksanggul tanpa daging rendang kuda. Kalau Anda muslim, tak usah segan. Di kampung kami, dan umumnya di Tanah Batak, toleransi dijunjung amat tinggi.
Di Doloksanggul, tempat kelahiran saya, Islam minoritas sekali. Namun, rumah makannya berjejer. Banyak juga dari mereka yang membuat rendang kuda. Jadi, ada yang halal. Ada juga nonhalal. Itulah di kampungku. Toleransi lebih penting daripada agama itu sendiri. Jadi, ayo, jangan segan ke Danau Toba. Berbagai jenis makanan ada di sana kok.
Saya pikir, kami juga tak akan peduli amat meski ada yang bilang: Rumah Makan Khas Batak Halal. Oh, iya. Tak lama ini ada ibadah akbar di Tanah Lapang Doloksanggul. Pedagang berkeliling. Umumnya muslim. Mereka berdagang saat umat Kristen beribadah. Padahal, itu cukup mengganggu. Tetapi, beribadah bukan soal hubungan dengan Tuhan, melainkan juga dengan manusia.
Maksud saya membuat tulisan ini supaya Anda penasaran. Anda penasaran maka Anda mungkin akan berkunjung. Syukur-syukur Anda ke Doloksanggul lalu mencari daging kuda dan menyantapnya dengan hikmat. Sekali lagi, murni agar Anda penasaran. Bukan yang lain. Toh, kami bersyukur. Kalian juga ramah. Kebanyakan babi hutan yang kami makan datang dari daerah Anda juga kok. Terima kasih, ya.
Penulis  : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor   : Mahadi Sitanggang