Arti Anak Buha Baju dan Namarbaju

NINNA.ID – Kita melafalkannya dengan huruf “h” pada frasa “anak buha baju”. Saya belum pernah mendengar seseorang melafalkannya dengan “k” pada “buha” menjadi “buka”. Padahal, dominan kita melafalkannya dengan huruf “k”. Katakanlah, misalnya, pada kalimat buhai roham (buka hatimu). Pasti kita melafalkan “k”, bukan “h”.

Itulah fenomena bahasa Batak. Terkadang dilafalkan tetap seperti pada “buha baju”, terkadang jadi “k”. Terkadang malah tak berguna karena dihilangkan dalam pengucapan, seperti pada kata “ahu”. Namun, satu yang pasti, dalam tafsir saya, jika “h” tetap dilafalkan, kata itu punya maksud yang lebih tinggi atau diberi perhatian khusus.

Sebut, misalnya, perayaan “buha-buha ijuk” pada tradisi Batak menjelang Paskah. Huruf “h” pada kata “buha-buha ijuk” dibaca “h”. Nah, sekarang, mari masuk ke poin ini: mengapa anak pertama diistilahkan dengan “buha baju”? Alasannya bisa dilogikakan karena anak itulah yang “membuka” pakaian ibu secara sah.

Kita bisa melihatnya dari foto-foto lawas tradisi kita. Tentu, tak jarang rasanya jika kita berjumpa dengan foto di mana seorang wanita bertelanjang dada sambil menggendong anaknya. Mereka dijejerkan banyak. Dengan para lelaki. Dengan wanita-wanita lain. Tua hingga belia. Yang belia biasanya akan menutup dadanya dengan kain.

BERSPONSOR

Dari gambar itu kita bisa membuat tafsir bahwa perempuan yang belum menikah, atau mungkin belum melahirkan, tidak punya hak kewajaran untuk telanjang dada di depan umum. Berbeda dengan wanita yang sudah punya anak. Mereka sudah punya hak kewajaran untuk telanjang. Karena itu, jangan heran dan terkejut.

Foto-foto lawas pasti selalu identik foto-foto yang sedikit vulgar jika ditarik dari ukuran moral saat ini. Namun, maksudnya kala itu jelas, menunjukkan bahwa ia sudah milik orang. Pada masa itu memang, pakaian adalah pesan. Orang-orang tertib untuk memilih pakaian atau ulos. Tertib sekali sampai pada aksesorinya.

Hanya dengan melihat pakaian yang melekat, kita bisa melihat posisi adat upacara seseorang.

Jika sudah janda, ia juga punya pakaian tersendiri. Ada penutup kepalanya. Penutup itu mempunyai simbol juga. Pemilik penutup kepala itu konon tak bisa menikah lagi. Jadi, ia tak bisa membuka penutup kepala itu lagi.

TERKAIT  Nadiem Makarim Belajar Main Taganing dan Nikmati Mie Gomak

Jika ia harus menikah, maka harus ada adat lagi. Adat untuk membuka penutup kepala tersebut. Sebab, penutup kepala itu tak sembarang kain. Ia punya pesan tersendiri. Jika penutup kepala itu akhirnya dibuka, ia menjadi orang berbeda secara adat. Artinya, jika ia ditinggal suami dan punya anak 3 orang, maka anak itu bukan anaknya lagi.

BERSPONSOR

Ia sudah kehilangan hak adat. Soalnya, jika sebelumnya suaminya bermarga Simamora dan ketiga anaknya sudah pasti Simamora, maka ketika ia menikah pada marga Manalu, ia sudah menjadi Manalu. Itulah sebabnya ia tak punya hak adat lagi. Karena itulah juga mengapa dahulu kala masih ada kebiasaan untuk mangabia.

Ada lagi wanita namarbaju. Wanita ini berarti pakai baju. Mereka masih belia. Jadi, jika ada foto lawas dan memakai baju, jika ia wanita, maka dapat disimpulkan kalau orang tersebut belum punya anak. Mungkin juga belum punya suami. Karena itu, pangaririt masih bisa meminangnya. Begitulah kira-kira sekilas pesan baju untuk status sosial.

 

Penulis   : Riduan Pebriadi Situmorang
Editor      : Mahadi Sitanggang

BERSPONSOR

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU